Kasus Penyiksaan Tak Ditanggapi Serius

JAKARTA, KOMPAS.com â?? Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mempertanyakan sikap pemerintah yang tampaknya tak serius menanggapi insiden penyiksaan yang terjadi sepanjang Juli 2010 hingga Juni 2011.

Hal ini, menurut Kepala Biro Peneliti Kontras Papang Hidayat, karena beberapa dari berbagai laporan pengaduan yang diajukan kepada pihaknya dari korban tak ada satu pun yang berujung pada keadilan, yaitu pelaku dihukum secara layak. Bahkan, impunitas atau pembiaran sudah menjadi bagian yang sering dilakukan pemerintah ataupun penegak hukum.

"Penyiksaan di Indonesia menjadi kejahatan yang khas tanpa praktik penghukuman yang jelas. Tak ada satu pun yang bisa diakhiri dengan keadilan memberi hukuman yang layak untuk pelaku penyiksaan," ujar Papang di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Sabtu (25/6/2011).

Salah satu penyiksaan terjadi pada Hermanus Riupassa. Ia mengalami tindakan penyiksaan selama menjalani pemeriksaan di Markas Polres Perigi Lima dan Polsek Tulehu, Maluku. Pada 23 Maret 2005 Hermanus ditangkap tanpa disertai surat penangkapan.

Hermanus diinjak dan diikat dengan tali rafia oleh oknum polisi setempat. Ia dituduh sebagai pelaku pembunuhan terencana yang dilakukan seseorang bernama Herry Sapulete. Penyiksaan berlanjut saat pemeriksaan, bahu, paha, dan kaki Hermanus dipukuli. Mereka memaksa Hermanus agar mengaku namanya adalah Herry Sapulette.

Beberapa penyiksaan lainnya yang lebih keji terjadi padanya dan tak layak disampaikan kepada publik. Informasi terakhir, saat ini Hermanus berada di Lapas Ambon dengan hukuman 16 tahun penjara. Upaya peninjauan kembalinya ditolak.

Sementara itu, kasus penyiksaannya selama berada di kepolisian setempat tak pernah diusut polisi. Hermanus, lanjut Papang, hanya merupakan satu contoh dari sekian banyak kasus penyiksaan di Indonesia atas nama aparatur keamanan negara.

"Berbagai kasus penyiksaan terjadi karena ketidakmampuan seorang penyelidik atau penyidik akan teknik investigasi yang memadai sehingga mereka mencari jalan pintas dalam mengumpulkan bukti dan kesaksian lewat praktik penyiksaan," tutur Papang.

Oleh karena itu, menurut Papang, Kontras mendesak pemerintah agar tak lagi gagap terhadap berbagai kasus penyiksaan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. "Kontras meminta Pemerintah RI, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, untuk merancang RUU khusus tentang upaya pencegahan dan penghukuman penyiksaan. Ini menjadi kunci untuk melawan praktik penyiksaan," kata Papang.

Selain itu, Kontras juga menuntut pemerintah menjalankan hasil rekomendasi dari Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) yang merupakan tindak lanjut pelapor khusus tentang tentang penyiksaan (special rapporteur on torture) Manfred Nowak tahun 2007 dan Laporan Universal Berkala 2008 mengenai HAM.

"Dari dua rekomendasi ini dapat dijadikan landasan bahwa Indonesia juga telah turut serta masuk dalam anggota Dewan HAM PBB serta menegakkan keadilan dan hak asasi manusia rakyatnya," lanjut Papang.