Polri 85 Kali Melanggar Ham pada 1 Tahun Terakhir

[JAKARTA] Menyambut Hari Bhayangkara ke-65 yang jatuh pada tanggal 1 Juli besok, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sepanjang 2010-Juni 2011, telah terjadi 85 kali peristiwa kekerasan oleh aparat kepolisian, dengan jumlah korban sebanyak 373 orang.

Pelanggaran terhadap Hak asasi manusia (Ham) tersebut masih dilakukan anggota Polri dengan cara melakukan penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil. Terutama, dalam penanganan konflik tanah, modal.

Sementara itu, penggunaaan kekuatan yang berlebihan ditunjukkan dalam upaya pemberantasan terorisme, kriminalisasi terhadap masyarakat, rekayasa kasus, bahkan pembiaran terhadap pertemuan-pertemuan sebagai ekspresi dari kebebasan berpendapat.

"Dua contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densu anti teror 88 dalam upaya
perang melawan terorisme. Serta, minimnya tindakan penegakan hukum atau pembiaran terhadap tindakan kekerasan oleh kelompok kekerasan (vigilante) dalam merespon kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata koordinator Kontras, Haris Azhar dalam siaran persnya, Rabu (29/6).

Menurut Haris, KontraS mencatat pelanggaran Ham tersebut dilakukan dengan cara pendekatan senjata api yang banyak digunakan aparat Densus 88 sepanjang 2010-Juni 2011.

"Setidaknya dari 13 operasi anti-terorisme Densus 88, 30 orang tewas tertembak oleh Densus 88. Kemudian, sebanyak 9 orang luka tembak. Ditambah lagi, 30 orang yang merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti terlibat dalam aksi teror yang disangkakan," ungkap Haris.

Sementara itu, lanjut Haris, Kontras juga mencatat ada 36 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok kekerasan (vigilante) di wilayah Indonesia. Dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat Polri berada di lokasi namun tidak melakukan tindakan hukum yang tegas. Bahkan, Polri cenderung mengamankan kelompok agama atau keyakinan minoritas dengan melarikan mereka dari tempat perisitiwa.

Selain itu, Haris juga mengungkapkan bahwa pembiaran juga terjadi pada beberapa indikasi kejahatan yang sebenarnya sudah muncul di kalangan masyarakat dalam konteks penyebaran kebencian di masjid-masjid atau wilayah publik lainnya.

"Aparat kepolisian tampak gamang dan bahkan memilih untuk membiarkan penyebaran tersebut terjadi di masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan bibit-bibit radikalisme akan semakin menguat," ungkap Haris.

Oleh karena itu, Haris menyatakan perlunya pengawasan terhadap Polri dari pihak luar, seperti Kompolnas, Ombudsman. Walaupun, Polri telah membuat nota kesepahaman dengan Komnas HAM dan Ombudsman untuk membangun sinergisitas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Ham dan penyalahgunaan kewenangan anggota Polri.

"Polri harus mensosialisasikan nota kesepahaman tersebut kepada semua anggota Polri, khususnya di level Polres dan Polsek di mana pelanggaran HAM lebih banyak terjadi. Serta memastikan agar aparatur Polri di segala level akan kooperatif dengan berbagai mekanisme pengawas eksternal tersebut," tegas Haris. [N-8]