Kontras: Kekerasan di Aceh Masih Tinggi

JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkapkan, tingkat kekerasan di Aceh pasca Perjanjian Damai Helsinki 15 Agustus 2011 hingga saat ini masih tinggi. Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, tinggi kekerasan tersebut terkait dengan momentum peristiwa politik lokal dalam agenda Pemilukada Aceh.

“Melihat lebih jauh pola-pola praktik kekerasan di Aceh, kondisi ini tentu saja menimbulkan kecemasan dan sekaligus meningkatkan pesimisme warga Aceh pada kembalinya kekerasan di Aceh, kegagalan perdamaian dan molornya Pemilukada (Gubernur) Aceh,” ujar Haris di kantor Kontras, Jakarta, Minggu (31/7/2011).

Haris mengungkapkan, praktik kekerasan yang terjadi terakhir menimpa pada mantan kombatan, bekas Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Saiful Cage pada 22 Juli 2011, di Bireun, Aceh. Ia tewas seketika. Aparat keamanan hingga kini masih belum dapat mengidentifikasi pelaku penembakan.

“Saiful Cage, ditengah sengketa Pemilukada ini menjadi korban pertama. Tapi model kekerasan ini, sudah seringkali terjadi. Jadi model kekerasannya sifatnya tertutup seperti sabotase, pembunuhan, penembakan, dan sebagainya,” kata Haris.

Dalam catatan Kontras, sejak 2005 fluktuasi tingkat kekerasan di Aceh naik dan turun. Angka kekerasan meningkat drastis di tahun 2009, dengan 25 kasus kekerasan, di antaranya pemboman, pembakaran, pengerusakan atribut partai, intimidasi, penyiksaan, penembakan dan pembunuhan.  Setidaknya tercatat tujuh orang korban penembakan dan 25 orang korban pembunuhan pada tahun tersebut.

Adapun, pada 2010, angka kekerasan masih berada pada kisaran jumlah yang tidak jauh berubah. Pada tahun tersebut setidaknya masih terdapat 16 orang korban penembakan dan dua orang korban pembunuhan di Aceh.

“Kami melihat apa yang terjadi di Aceh tak beda jauh dengan situasi yang terjadi di Poso pasca-Perjanjian Malino. Dari sisi pelaku sebagian besar melibatkan banyak pelaku yang didefinisikan sebagai orang tak dikenal (OTK). Dan sampai saat ini, meski pun kekerasan mereda di Poso, namun hak-hak masyarakat korban konflik masih belum tunai tuntas terpenuhi,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Haris, pihaknya mendorong agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, beserta jajaran aparat keamanan di tingkat lokal melakukan evaluasi kondisi keamanan dalam menanggapi maraknya praktik kekerasan. Menurutnya, hal tersebut mutlak dilakukan, mengingat potensi kekerasan menjelang atau disaat perdebatan Pemilukada 2011 bisa terjadi sewaktu-waktu.

“Dalam soal debat sengketa Pemilukada, kita juga merekomendasikan agar pemerintah pusat untuk memfasilitasi proses dialog antara DPR Aceh dan parpol-parpol di Aceh yang menolak calon Independen dengan Komite Independen Pemilihan (KIP) yang membolehkan calon Independen untuk maju dalam pemilihan Gubernur Aceh 2011-2016. Dan Evaluasi ini menjadi penting dilakukan untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok kekerasan yang mampu memicu konflik baru,” papar Haris.