Buka Kembali Kasus Tanjung Priok

Jakarta, Kompas – Tragedi Tanjung Priok, Jakarta Utara, tahun 1984, yang menewaskan banyak korban itu, diminta untuk dibuka kembali. Proses pengadilan tahun 2003 dan 2004 membebaskan sejumlah pejabat yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia berat itu, sementara keluarga korban tidak memperoleh pengakuan ataupun kompensasi.

Tuntutan itu disampaikan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani saat mengadu ke Komisi Nasional HAM di Jakarta, Rabu (13/4). Kontras datang bersama Ikatan Korban dan Keluarga Tanjung Priok (Ikkapri) yang antara lain diwakili Beni Biki, Abdul Basir, dan Saeful Hadi. Mereka diterima anggota Komnas HAM, Kabul Supriyadhie.

Yati Andriyani menjelaskan, sejumlah pejabat militer telah diadili di pengadilan HAM ad hoc di PN Jakarta Pusat tahun 2003-2004. Meski ada dua terdakwa divonis bersalah, akhirnya semuanya dilepaskan dari jerat hukum pada tingkat banding dan kasasi. Beberapa pejabat militer lebih tinggi, sebagaimana disebut dalam laporan Komnas HAM, justru tak tersentuh.

Padahal, sejumlah pejabat militer di lapangan atau pemegang komando memang bertanggung jawab dalam tragedi yang menewaskan sekitar 24 orang itu. Dengan membebaskan semua terdakwa, pemerintah menyangkal adanya pelanggaran HAM berat dalam tragedi Tanjung Priok. Akhirnya, para korban dan keluarganya tidak mendapat pengakuan atau kompensasi apa pun dari pemerintah.

”Ada intimidasi dalam persidangan saat itu dan sebagian saksi mengubah keterangan setelah disuap. Kami mendesak Komnas HAM membuka dan mengkaji kembali kasus ini,” katanya.

Menurut Beni Biki, keluarga korban menuntut keadilan dan kebenaran dalam kasus itu. Pengadilan yang obyektif akan membuka kejadian sebenarnya kasus itu serta menghukum para pejabat yang bertanggung jawab. Dia juga meminta Komnas HAM memberi rekomendasi yang menjelaskan adanya para korban yang berhak mendapat rehabilitasi dan kompensasi. ”Pemerintah harus minta maaf dan memenuhi janji mengurus korban dan keluarganya,” kata Beni.

Menjawab pengaduan itu, Kabul Supriyadhie mengatakan, idealnya pemerintah mengakui para korban Tanjung Priok dan memberikan rehabilitasi serta kompensasi dalam bentuk bantuan ekonomi, medis, dan psikologis. Hanya saja semua itu baru dapat dilaksanakan jika para terdakwa diputus bersalah dengan vonis berketetapan hukum. Sementara kenyataannya para terdakwa malah bebas.

”Kami akan membawa masalah ini dalam sidang paripurna Komnas HAM awal Mei nanti. Jika ada bukti baru (novum), kejaksaan bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung,” katanya.

Peristiwa Tanjung Priok meletus pada 12 September 1984. Setelah pengajian, warga bergerak untuk membebaskan empat warga yang ditahan di kodim. Mereka dihadang aparat di Jalan Sindang, Kelurahan Koja Selatan, Jakarta Utara, sehingga terjadi peristiwa yang menewaskan puluhan korban. (IAM)