Sudah Dua Tahun Presiden Abaikan Rekomendasi DPR

Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dua tahun mengabaikan rekomendasi DPR tentang kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 13 Orang pada tahun 1997- 1998. Ada empat rekomendasi yang dikeluarkan DPR pada 30 September 2009 terkait kasus ini.

Empat rekomendasi tersebut, pertama, Presiden agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kedua, Presiden serta segenap institusi pemerintah dan pihak terkait agar mencari 13 orang yang oleh Komnas HAM dinyatakan hilang. Ketiga, pemerintah agar merehabilitasi dan memberi kompensasi kepada keluarga korban. Keempat, pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Antipenghilangan Paksa.

”Sekarang presiden bagaimana. Kami ingin jawaban Presiden, apakah dipetieskan atau dilanjutkan,” kata Effendi Simbolon, mantan Ketua Pansus tentang Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, di Jakarta, Rabu (28/9).

Utomo, orangtua salah seorang korban, Petrus Bima Anugrah, mengatakan, Presiden melakukan pelanggaran keadilan. Dua dari empat rekomendasi tersebut ditujukan kepada presiden dan hingga kini tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Presiden dengan sengaja mengulur waktu dan menghalangi korban dan keluarganya mendapatkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan.

”Presiden itu juga tentara, dia tahu kalau ada justifikasi kekejian, bisa disampaikan,” kata Effendi.

Oleh karena itu, pimpinan DPR juga diminta bertindak. Nasir Jamil, anggota Komisi III, meminta agar pimpinan DPR mengambil inisiatif, di antaranya dengan memanggil menteri yang terkait dengan masalah ini. Eva Sundari juga menyatakan, DPR memiliki pilihan politik misalnya dengan hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Pasalnya, sesuai dengan UU No 26/2000, Pengadilan HAM Ad Hoc kasus pelanggaran HAM berat dibentuk atas usulan DPR kepada presiden. ”Ini menyangkut mandat konstitusional,” tegas Nasir.

Sementara itu, Darmayanto, sebagai Wakil Ketua Pansus, mengatakan agar hal ini tidak dipolitisasi. Semua pihak, termasuk pemerintah dan partai yang berkuasa, harus menyelesaikan masalah HAM ini.

Ahmad Yani, anggota Komisi III, menyatakan, Komnas HAM juga seharusnya tidak lepas tangan dan mengawal hal ini setelah mengeluarkan hasil penyelidikannya bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan paksa 13 orang selama 1997/1998. Komisi III juga telah berkali-kali mempertanyakan kemajuan masalah ini ke Kejaksaan Agung. ”Namun selalu jawabannya tinggal tingkatkan ke penyelidikan,” katanya.

Sementara Sipon, istri Widji Thukul, bercerita tentang diskriminasi yang ia hadapi sehari-hari. Ia jadi sulit mendapat pekerjaan, sementara pengurusan sertifikat tanahnya sudah lima tahun terkatung-katung. (EDN)