Selamatkan Tuti Tursilawati dan buruh migran Indonesia lainnya dari Hukuman Mati di Saudi Arabia!!!!

Selamatkan Tuti Tursilawati dan buruh migran Indonesia lainnya dari Hukuman Mati di Saudi Arabia!!!!

Komisi Tinggi HAM PBB, melalui jurubicaranya Rupert Colville pada hari ini (12/10/11) di Geneva mengeluarkan pernyataan sikap mengenai hukuman mati di Saudi Arabia setelah minggu lalu Saudi Arabia mengeksekusi mati (memancung) 8 buruh migran Bangladesh secara bersamaan. Sepanjang tahun 2011, setidaknya 58 orang, 20 orang di antaranya adalah pekerja asing atau buruh migran, termasuk Ruyati, telah menjalani eksekusi mati di negeri kerajaan tersebut. Hal ini merupakan sebuah ironi, mengingat dari 193 negara anggota PBB, 140 negara telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem pemidanaan mereka atau setidaknya melakukan moratorium hukuman mati. Untuk itu, Komisi Tinggi HAM PBB meminta Saudi Arabia untuk menghormati standar HAM internasional dengan menghapuskan hukuman mati atau moratorium hukuman mati.

Seruan Komisi Tinggi HAM PBB tersebut semestinya menjadi perhatian serius bagi pemerintah Saudi Arabia dan juga pemerintah Indonesia yang banyak warganya menghadapi ancaman hukuman mati di sana. Saat ini, setidaknya ada 26 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia dan 5 di antaranya telah mendapat vonis tetap hukuman mati, yaitu Tuti Tursilawati, Sutinah, Siti Zaenab, Aminah dan Darmawati. Bagi pemerintah Indonesia, seruan Komisi Tinggi HAM PBB ini, harus menjadi momentum untuk upaya pembebasan mereka yang terancam hukuman mati, khususnya Tuti Tursilawati yang dikabarkan akan menjalani eksekusi mati setelah hari raya Iedul Adha.

Tuti Tursilawati (27 tahun) adalah PRT migran asal Cikeusik, Sukahaji, Kabupaten Majalengka Jawa Barat yang diberangkatkan ke Saudi Arabia oleh PT Arunda Bayu pada 5 September 2009 dan bekerja pada Suud Malhaq Alutaibi, di kota Thaif. Menurut informasi yang diterima oleh keluarganya, majikan Tuti sering hendak berbuat asusila terhadapnya. Hingga pada tanggal 11 Mei 2010, Tuti yang membela diri terpaksa memukul majikannya dengan sebatang kayu hingga meninggal dunia. Setelah kejadian, Tuti melarikan diri dan  ditangkap aparat kepolisian setempat ditahan di penjara Kota Thaif hingga kini.
 
Saat ini proses peradilan Tuti telah berakhir dengan penjatuhan vonis hukuman mati. Dan menurut informasi, pihak keluarga mantan majikan Tuti juga telah mengajukan permohonan kepada otoritas Pengadilan di Saudi Arabia untuk pelaksanaan hukuman mati (qishash) terhadap Tuti Tursilawati setelah berakhirnya musim haji.

Vonis hukuman mati ini sungguh merupakan ketidakadilan yang nyata bagi Tuti, dan untuk itu harus ditolak. Tidak semata karena dia merupakan korban yang mempertahankan diri dari kebiadaban majikannya, tapi juga karena hak hidup setiap orang adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Hak hidup bagi setiap orang ini dijamin dalam  International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah non-derogible rights. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi ICCPR seharusnya mengadopsi prinsip ini dengan mengakhiri praktek hukuman mati dalam sistem pemidanaan. Dengan mengakhiri praktek hukuman mati, akan makin memperkuat posisi politik Indonesia dalam diplomasi pembelaan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Walau sejak eksekusi terhadap Ruyati, pemerintah Indonesia membentuk Satgas Pembelaan untuk TKI Yang Terancam Hukuman Mati namun hingga saat ini institusi tersebut belum memperlihatkan hasil kerja yang signifikan. Bahkan sejak dibentuk bulan Juli 2011 belum pernah memberikan laporan hasil kerjanya kepada publik.
Berdasarkan hal tersebut, Aliansi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati  menyatakan sikap:

  1. Mendesak pemerintah Kerajaan Saudi Arabia untuk tidak melakukan eksekusi mati terhadap Tuti Tursilawati, dan juga terhadap 26 buruh migrant lainnya yang saat ini terancam hukuman mati;
  2. Mendesak presiden SBY untuk melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan Raja Arab untuk membebaskan Tuti Tursilawati dari hukuman mati;
  3. Mendesak pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan pemerintah Republik Indonesia untuk segera menghapuskan hukuman mati atau setidaknya moratorium hukuman mati sebagai bentuk komitmen terhadap penghormatan HAM;
  4. Mendesak adanya audit kinerja dan laporan kerja Satgas Pembelaan untuk TKI Yang Terancam Hukuman Mati yang hingga kini belum dilakukan.
  5. Presiden SBY, Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala BNP2TKI harus berani mundur dari jabatannya bila tidak dapat menyelamatkan Tuti, dan juga warga negara lainnya dari ancaman hukuman mati, mengingat hal ini merupakan mandat konstitusi.

Jakarta, 14 Oktober 2011

Migrant CARE, KontraS, Imparsial, ELSAM, KWI, DEMOS, ICW, YAPPIKA, Jurnal Perempuan, INFID, Kapal Perempuan, BPI, SAPA Indonesia, ANBTI, KPI, Paguyuban Pekerja UI, JATAM, LIMA Indonesia, Wahid Institute, LSPP, Foker, Perempuan Mahardhika, Ourvoice, JALA PRT, KBRD, SARI, KPI, INDIPT, LKTS, Syarikat Indonesia, ICDHRE, IPMIK, PAKUBUMI, Sudahi KNTP, IHI, Aliansi Sumut Bersatu, Indonesia Aids Coalition, Kampak Papua, Praxis, Federasi APIK, Indies, Yakkum, PRP, Romo Benny Susetyo, Usman Hamid, Rumadi, Maman Imanulhaq, Zuhairi Misrawi, Olin Monteiro

Kontak: Haris Azhar ( 08153302342), Anis Hidayah (081578722874), Wahyu Susilo (08129307964), Indriastuti (081380305728)