Kontras: Reshuffle Kabinet Tak Ada Kemajuan di Bidang HAM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (Kontras) tidak melihat kemajuan dalam reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Koordinator Kontras, Haris Azhar menyatakan latar belakang pergantian sejumlah menteri tidak jelas.

"Masih dipertahankannya menteri-menteri yang tidak kontributif dari kacamata hak asasi manusia seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Agama. Hutang penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak menjadi inspirasi perubahan nama di kabinet SBY," kata Haris dalam rilisnya, Jumat (21/10/2011).

Kontras lalu mencontohkan masih terus terjadi praktek kekerasan dan pelanggaran HAM yang meluas di berbagai sektor. Dalam setahun terakhir Kontras mencatat telah terjadi banyak tindak penyiksaan dan tindakan kejam yang diduga melibatkan oknum aparat Kepolisian, aparat militer dan petugas Lapas.

Pemerintah SBY, kata Haris, gagal memberikan perlindungan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap kelompok minoritas dan perlindungan terhadap WNI di luar negeri seperti kasus hukuman mati para TKI di Arab Saudi.

Kontras juga melihat UU Intelijen yang dibuat dengan banyak ketidakpastian yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. "Kejahatan terorisme belakangan sering dijadikan dasar pembenar bagi terjadinya praktek-praktek kekerasan oleh Polisi," ujarnya.

Dalam soal kebijakan peraturan perundang-undangan, lanjut Haris, Pemerintah SBY selama ini cenderung membiarkan bermunculannya aturan-aturan yang anti terhadap HAM dan Konstitusi.

"Kami berpendapat bahwa 3 tahun tersisa sungguh amat berat bagi Presiden SBY dan kabinetnya untuk menunaikan persoalan-persoalan HAM," kata Haris.

Haris juga menyoroti Kepala BIN baru Marciano Noorman yang dianggap tidak berpengalaman dan dikenal dari kalangan intelijen. Selain itu, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsoedin yang berasal dari profesi advokat. Di sisi lain, lanjut Haris, pengangkatan wakil-wakil menteri dengan jumlah yang banyak memberikan kesan bahwa para menteri tidak mampu menjalankan tuga-tugasnya.

"Kami menduga bahwa reshuffle ini hanyalah politik akomodasi para profesional dengan para politisi dari berbagai partai koalisi pendukung pemerintahan SBY," imbuhnya.