Stop Rencana Mobilisasi Pasukan Densus 88 ke Aceh

Stop Rencana Mobilisasi Pasukan Densus 88 ke Aceh

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras rencana mobilisasi 780 personel Mabes Polri dari berbagai satuan, termasuk di antaranya Detasemen Khusus Anti Teror 88 Mabes Polri,untuk mengamankan persiapan pelaksanaan Pemilukada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, 16 Februari 2012 mendatang. Kebijakan Bawah Kendali Operasi (BKO) ini juga akan yang akan diterapkan dalam pra-operasi bersandikan "Mantap Praja Rencong 2012," pada 18-19 Januari 2012, sebagaimana yang disampaikan oleh Kabid Humas Polda Aceh Kombes Gustav Leo, Selasa (17/1).

Rencana mobilisasi personel Detasemen Khusus Anti Teror 88 Mabes Polri yang hingga kini belum diketahui jumlah pastinya pun amat janggal. Pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Saud Usman Nasution yang menerangkan bahwa fungsi Densus 88 di Aceh adalah untuk, "standby di titik-titik operasi yang akan ditentukan kemudian," bertentangan dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Densus 88, khususnya di ranah fungsi intelijen, penegakan, investigasi, penindakan dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme. Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tingginya tensi kekerasan menjelang pelaksanaan Pemilukada Aceh 2012 juga tidak serta merta harus dijawab dengan mobilisasi pasukan keamanan dari luar Aceh, karena apa yang tengah terjadi di Aceh tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah situasi yang mampu mengancam keamanan nasional NKRI. Mengingat dalam Nota Perdamaian Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Polda Aceh (polisi organik) adalah otoritas keamanan yang bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh (4.10 MoU Helsinki). Sudah seharusnya agenda pengamanan Pemilukada Aceh 2012 memaksimalkan kuantitas dan kapasitas personel Polda Aceh yang berada di lapangan.

Kita juga bisa memeriksa kembali Pasal 204 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan dikuatkan dalam ayat (3), dengan penjelasan bahwa kebijakan ketentraman dan ketertiban masyarakat di Aceh dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Aceh kepada Kepala Pemerintahan Aceh, sebagai otoritas politik tertinggi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Kini, merawat proses perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki menjadi hal krusial yang harus dipertahankan. Di tengah potensi keinginan kuat Jakarta untuk melakukan mobilisasi pasukan sebagai wujud penyikapan dinamika politik Aceh. Kita juga harus belajar dari pengalaman Pemilukada Aceh 2009 silam, ketika TNI turut melakukan pengamanan hingga Hari-H Pemilukada. Dari hasil pemantauan KontraS Aceh saat itu (2009), aparat TNI mendirikan pos-pos pengamanan di wilayah TPS. Mereka bahkan terlibat dalam penurunan atribut partai (terjadi di Aceh Utara dan mendapat ekspos luas dari media massa). Ekstremnya, aparat TNI turut mengibarkan bendera Partai Hanura dan calon kandidat Pemilukada (terjadi di Meulaboh dan Blang Pidie). Mobilisasi pasukan TNI di Aceh juga diterapkan pada penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 (Juli 2004, ketika itu Darurat Sipil masih diberlakukan di Aceh) Tentu saja, model tindakan semacam ini amat bertentangan dengan kesepakatan MoU Helsinki, UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh dan khususnya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan tidak akan pernah mendapatkan justifikasi apapun. KontraS juga akan menolak keras jika pasukan TNI kembali lagi dikerahkan ke Aceh untuk membatasi aspirasi politik lokal warga Aceh dalam Pemilukada 2012 yang akan datang.

Sekali lagi, KontraS amat menghendaki penyelenggaraan suksesi politik lokal Aceh pada tahun 2012 berjalan aman, damai dan tidak memicu kembali rasa traumatik warga Aceh seperti yang terjadi di masa lalu.

 

Jakarta, 17 Januari 2012
Badan Pekerja,

 

Haris Azhar, MA
Koordinator KontraS