Presiden SBY Harus Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat, Bukan Berwacana

Presiden SBY Harus Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat, Bukan Berwacana

KontraS menyayangkan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada rapat pimpinan POLRI-TNI, Jum’at 20 Januari 2012, yang mengatakan ada banyak tuduhan yang tidak benar berupa terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Sebagaimana, diantaranya, yang diberitakan dalam media Republika.co.id dan detik.com (Jum at, 20 Jan 2012) SBY menyatakan bahwa peristiwa demi peristiwa yang terjadi bukan pelanggaran HAM yang berat (Kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genosida) sebagaimana yang terjadi di Bosnia Herzegovina, Kamboja ataupun Afrika.

Bagi KontraS pernyataan SBY merupakan pernyataan yang tidak bercermin pada fakta-fakta dilapangan. Pernyataan SBY ini merupakan pembelaan politik apriori atas berbagai peristiwa yang patut diduga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh TNI dan Polri.

Secara konseptual, Pelanggaran HAM yang berat adalah kekerasan yang ditujukan ke warga atau populasi sipil yang dilakukan secara sistematis atau meluas. Hal ini dijamin dalam pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bentuk-bentuk kekerasannya bisa berupa penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembunuhan, eksterminasi dan lain sebagainya.

Dalam berbagai kasus, kekerasan yang dilakukan ke masyarakat sipil masih terjadi hingga hari ini. Kekerasan tersebut dilakukan secara sistematis dan memberikan efek meluas hingga berakibat pada suatu kondisi yang memperburuk setiap individu ataupun komunitas tertentu. Papua misalnya. Ada berbagai praktek penyiksaan, atau adanya penyerangan-penyerangan terhadap warga sipil yang tinggal didaerah perkampungan. Atau tindak penyiksaan diberbagai proses hukum. Contoh lain adalah meluasnya pembiaran kekerasan terhadap warga Ahmadiyah. Dalam banyak kasus, jelas-jelas negara (dalam hal ini Polisi) gagal mencegah, bahkan terlibat dengan kelompok penyerang.

Sampai hari ini banyak warga Papua masih hidup dalam kerentanan rasa aman, mudah dikriminalkan, mudah distigma. Warga Ahmadiyah juga masih terus dilarang dan dikejar. Rasa aman, tidak boleh disiksa dan hak untuk berkeyakinan dan beribadah adalah sebagaian dari hak yang harus dilindungi oleh negara dalam keadaan apapun. Negara sengaja membiarkan meluas masyarakat sipil dikorban secara berulang. Patut diduga aparat-aparat negara telah melakukan pelanggaran HAM yang berat.

Disisi lain pernyataan SBY ini merupakan penghindaran dari tanggung jawabnya atas persoalan impunitas di Indonesia yang berkepanjangan. SBY selama lebih dari 7 tahun berkuasa tidak mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat (kasus Talansari 1989, Peristiwa 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wamena-Wasior Papua dan Trisakti-Seminggi I dan II). Padahal kasus-kasus tersebut sudah dilakukan proses hukumnya (penyelidikannya) oleh Komnas HAM. SBY tidak berani meminta Kejaksaan Agung untuk menindak lanjutinya ke proses penyidikan dan penuntutan hukum. Dalam soal Aceh, SBY belum melakukan tindakan apapun untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Padahal dalam konteks konsepsi HAM, hal ini adalah salah satu kewajiban negara yaitu melakukan “pemenuhan” hak asasi manusia berupa pengadilan (right to justice).

Jelas bahwa pernyataan SBY dalam Rapim POLRI-TNI hanya dalam konteks “tidak melakukan” pelanggaran HAM. Tapi SBY disisi lain gagal melakukan kewajiban penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Terakhir, kami curiga pernyataan SBY adalah bagian dari “obat penenang” kepada komunitas internasional. Pelanggaran HAM yang berat adalah momok bagi entitas internasional. Sementara SBY sedang berusaha membangun kepercayaan dari masyarakat internasional. Padahal SBY gagal membangun performa yang profesional dan demokratis hingga menyebabkan adanya pelanggaran HAM yang meluas dan gagal menyelesaikannya secara baik.

Kedepan, KontraS berharap SBY memperbaiki kinerja penegakan HAM di Indonesia; memastikan bahwa TNI dan Polri tidak melakukan pelanggaran HAM yang berat; memastikan bahwa Komnas HAM bisa bekerja dengan baik dan meminta Kejaksaan Agung menindak lanjuti penyelidikan-penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang berat.

 

Jakarta, 20 Januari 2012

Eksekutif Nasional KontraS

Haris Azhar
Koordinator