Rekomendasi untuk Tim Seleksi Komnas HAM: Pembelajaran dari Komnas HAM Periode 2007-2012 untuk Perbaikan di Masa Datang

SURAT TERBUKA KEPADA PANITIA SELEKSI
CALON ANGGOTA KOMNAS HAM 2007-2012

Rekomendasi untuk Tim Seleksi Komnas HAM:
Pembelajaran dari Komnas HAM Periode 2007-2012 untuk Perbaikan di Masa Datang

Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyambut baik proses seleksi calon anggota baru Komnas HAM periode 2012-2017. Komnas HAM adalah sebuah institusi harapan atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Sebagai sebuah institusi negara, sebenarnya Komnas HAM hanyalah satu elemen kecil dari suatu sistem HAM di tingkat nasional yang membutuhkan komitmen simultan semua organ-organnya. Meski tidak bisa merepresentasikan untuk suatu sistem HAM nasional, institusi semacam Komnas HAM punya suatu minimum performa institusional (juga relatif tersedia dalam aturan normatif nasional UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000):

Berdasarkan pengalaman kami selama berinteraksi dengan Komnas HAM sepanjang 2007-2012, kami melihat bahwa kewibawaan politik Komnas HAM kian menurun. Sebuah tantangan besar bagi anggota Komnas HAM di periode 2012-2015. Hal ini didasarkan pada fakta-fakta yang muncul serta harapan terhadap peran strategis Komnas HAM :

  • Tidak ada terobosan signifikan untuk kebuntuan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

Pada periode ini, tidak ada satu peristiwa pelanggaran berat HAM yang diselesaikan oleh Komnas HAM. Komnas HAM tak kunjung selesai melakukan penyelidikan pro justicia untuk peristiwa 1965/1966 dan Penembakan Misterius. Tim penyelidikan pro justicia untuk peristiwa 1965/1966 adalah tim penyelidikan terlama yang dilakukan oleh Komnas HAM. Komnas HAM gagal memahami kondisi sosial dan psikologis para korban dimana mereka sudah menanti pengungkapan kebenaran dan rehabilitasi untuk waktu yang cukup lama. Banyak dari mereka yang kian renta.

Pada periode ini juga tidak ada penyelidikan pro justicia terhadap peristiwa pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dan Papua, khususnya di masa Daerah Operasi Militer yang menunjukkan jelas terjadinya pelanggaran berat HAM dan jatuhnya korban jiwa. Pada periode sebelumnya, Komnas HAM telah membuat tim adhoc untuk Aceh namun hanya ditindaklanjuti dengan tim pengkajian terhadap peristiwa tersebut. Sementara untuk Papua, Komnas HAM juga baru melakukan pengkajian di masa DOM dan belum jelas tindaklanjutnya.

Dalam konteks pelangaran HAM yang berat yang sudah diselidiki, seperti kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Talangsari dan Wasior Wamena, Komnas HAM minim melakukan langkah †langkah alternatif atau terobosan. Komnas HAM menyerah pada alasan-alasan Jaksa Agung yang menolak menindak lanjuti penyidikan dengan berbagai alasan prosedural dan politis. Disaat bersamaan Komnas HAM juga tdiak mengambil langkah terobosan terhadap gagalnya pemenuhan keadilan korban dalam Pengadilan HAM Timor †Timur dan Tanjung Priok. Langkah progresif hanya muncul pada inisiatif untuk mengeluarkan Sertifikat Status Korban Penghilangan Paksa. Tentu saja upaya ini semestinya bisa menjadi desakan  politis untuk menagih otoritas negara mencari dan mengembalikan mereka yang dihilangkan.

Di tengah kebuntuan ini, Komnas HAM justru terjebak kedalam solusi politis Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko-Polhukam) untuk membentuk Tim Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim ini lahir pasca pertemuan Komnas HAM dengan Presiden dan bekerja dengan mandat kerja mencari format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Hampir setahun berjalan, belum ada sinyal positif dari Komnas HAM untuk mensinergiskan tim Ini dengan sejumlah persoalan penyidikan yang mandek di Kejaksaan Agung. Komnas HAM terkesan larut dengan solusi di luar mekanisme judicial dengan sejumlah pertimbangan realitas politik yang ada. Upaya non judicial yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan dengan hak korban dan tidak membuka ruang †ruang impunitas baru.

  • Minim strategi untuk penyelesaian konflik-konflik Agraria dan perlindungan kelompok minoritas

Peristiwa kekerasan yang terjadi akibat tidak terselesaikannya konflik-konflik sumber daya alam terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Komnas HAM akhirnya harus berperan sebagai ‘pemadam kebakaran’ yang terjebak dalam penyelesaian kasus per kasus. Hal ini pun sulit memberikan rasa keadilan bagi korban karena di dalam banyak peristiwa pelanggaran HAM, Komnas HAM harus terjebak larut dalam penyelesaian mekanisme institusi internal pelaku pelanggar HAM seperti TNI dan Polri tanpa dapat mendorong adanya penyelidikan independen terhadap tindak pidana yang terjadi. Hal ini tampak pada peristiwa di Alas Tlogo, Jawa Timur, Tiaka Sulawesi Tengah mapun Bima, Nusa Tenggara Timur dan lain sebagainya.

Meski Komnas HAM telah merekomendasikan agar penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam menjadi bagian dari persoalan yang strategis kepada Presiden, namun belum ada perkembangan yang signifikan dari tim Kementrian Bidang Politik, Hukum dan HAM yang telah dibentuk. Komnas HAM tentu diharapkan dapat melakukan langkah lebih progresif karena memiliki kapasitas dan mandat kerja institusional yang lebih jelas dari anggota tim lainnya.

Sementara itu dalam isu kebebasan beragama, Komnas HAM tampak tidak bersikap tegas untuk mendorong penyelesaian kasus. Peristiwa kekerasan yang lahir dari diskriminasi atau pelanggaran terhadap kebebasan beragama makin meningkat dengan pola pelanggaran yang semakin beragam. Dalam berbagai peristiwa besar, Komnas HAM tak mampu memberikan rekomendasi terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya dapat memberikan masukan strategis kepada Pemerintah untuk pembenahan perspektif hak asasi terhadap isu kebebasan beragama serta mengefektifkan penegakan hukum terhadap para pelakunya.

Peristiwa pelanggaran HAM serius lainnya yang juga menjadi perhatian adalah :

  • Tak cukup mendorong pembenahan akuntabilitas di institusi Polri/TNI, khususnya dalam menyikapi tindakan penyiksaan. Komnas HAM menerima 4502 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Dari sekian banyak kasus ini, Komnas HAM tampak tak cukup memiliki strategi untuk mendorong pembenahan mekanisme akuntabilitas terhadap para pelaku. Komnas HAM bahkan hanya melakukan penyelidikan terhadap kasus penyiksaan yang berat dan sistematis, seperti penyiksaan di Puncak Jaya dan justru merekomendasikan adanya penyelidikan internal di lingkungan TNI/Polri. Komnas HAM semestinya dapat berperan aktifmemberikan masukan strategis berdasarkan tindakan, pola, pelaku penyiksaan dari kasus-kasus yang diterima agar dapat mendorong perubahan kultur kekerasan dalam institusi TNI/Polri.
  • Tak cukup perhatian untuk melindungi kebebasan berekspresi dan tindakan kekerasan di Papua. Diskriminasi politik terhadap rakyat Papua adalah justifikasi terjadinya kekerasan dalan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi TNI/Polri. Komnas HAM lagi-lagi terjebak pada respon kasuistis, sehingga berperan untuk melakukan pemantauan atau penyelidikan †seperti kasus penyerangan Kongres Rakyat III Papua †dengan rekomendasi minimal yagn tidak berefek pada perubahan kebijakan. Inisiatif terlibat dalam tim yang mendorong proses damai di Papua harus juga disinergikan dengan peran strategis untuk mendorong pembenahan manajemen keamanan di Papua yang selama ini berkontribusi terhadap terjadinya diskriminasi dan tindakan pelanggaran HAM.

Dari berbagai catatan di atas, penting bagi Panitia Seleksi untuk memastikan agar pemilihan Komnas HAM juga berkontribusi terhadap perubahan institusional Komnas HAM. Kami juga berharap calon anggota Komnas HAM yang baru merupakan orang-orang pilihan yang memiliki integritas moral dan komitmen tinggi untuk penegakan HAM. Kami berharap agar Panitia Seleksi mengutamakan calon-calon anggota Komnas HAM yang memahami prinsip-prinsip dasar dan standar universal HAM dengan baik serta berani menegakkan HAM. Lebih khusus, Anggota Komnas HAM terpilih harus memiliki strategi yang visioner terhadap berbagai persoalan di atas, termasuk strategi pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini merupakan tantangan besar dalam menjawab persoalan hak asasi manusia saat ini.

Dalam proses tersebut, kami meminta Panitia Seleksi dapat bersikap pro aktif mengajak pihak-pihak yang kompeten sekaligus membangun komunikasi dengan pihak DPR untuk menghindari ruang politisasi dalam proses pemilihan nantinya. Jikapun hingga saat ini belum banyak pihak yang mendaftar, maka panitia seleksi dapat memperpanjang waktu pendaftaran untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Demikian surat ini disampaikan. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Jakarta, 26 Januari 2012
Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS