KontraS Minta Polda Aceh Berkomitmen Berikan Sanksi

BANDA ACEH- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Destika Gilang Lestari sangat menyesalkan tindakan anggota kepolisian yang masih menggunakan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan kasus yang terjadi beberapa hari lalu di Indrapuri dan Lhoksumawe.

Perihal ini terkait dengan dua kejadian di lokasi berbeda dalam tempo satu hari pada 25 Februari 2012. Kejadian pertama terkait penembakan terhadap Muhammad Ikhsan, 23 Tahun, di Gampoeng Meureu, Indrapuri, Aceh Besar oleh personil Direktorat Narkoba Polda Aceh dan kejadian kedua di Desa Blang Kabu, Samudera, Aceh Utara, dimana adanya pemukulan terhadap Jufri, 30 tahun, yang melibatkan salah satu anggota kepolisian Polsek Nibong.

â??Setidaknya dua peristiwa dalam satu hari tersebut pada akhir Febuari 2012 ini menunjukkan bahwa arogansi di tubuh anggota Polri masih tinggi. KontraS Aceh melihat bahwa hal ini disebabkan oleh banyak faktor, namun faktor utamanya adalah buruknya mekanisme penghukuman/sanksi internal untuk anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum. Dan sanksi yang diputuskan cenderung bersifat sanksi kode etik internal yang hukumannya relatif ringan bahkan sering berupa sanksi administratif,â? ujar Destika dalam rilis pers yang dikirimkan kepada The Atjeh Post, Senin 27 Februari 2012.

â??Kasus penembakan dan tindakan pemukulan terhadap masyarakat sipil, terkesan dibenarkan oleh Polri tanpa ada kejelasan dan klarifikasi prosedur penanganan kasus, mengingat fakta di lapangan anggota Polri tidak segan-segan untuk melakukan tindakan penembakan atau kekerasan seperti pada 25 Februari kemarin. Akibat tindakan tersebut, dua warga sipil, Muhammad Ikhsan mengalami luka tembak di bagian dada (rusuk kanan) dan Jufri (30) mengalami pemukulanâ?.

â??Budaya kekerasan di tubuh Polri ini semakin menunjukan lemahnya kepemimpinan Polri, karena tidak cukup mampu menunjukan perubahan paradigma, baik ditingkat konsep, kultur dan implementasi di lapangan. Data dan fakta ini seharusnya Polri sebagai aktor keamanan dan penegak hukum serius dalam melakukan evaluasi guna menghilangkan praktek-praktek kekerasan yang tidak terpuji tersebut. Hal ini dikarenakan, Polri sebagai pengayom masyarakat seharusnya memberikan contoh keteladanan kepada publik dan bukannya malah bertindak brutalâ?.

Destika menyebutkan â??meski Polri telah memasukkan kurikulum Hak Asasi Manusia (HAM) dalam materi pendidikan yang kemudian di iringi dengan adanya Peraturan Kapolri nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara RI. Bahkan Polri juga telah memiliki beberapa Prosedur Tetap (Protap), seperti Protap penanggulangan Anarkhi dan Dalmas, sebagai ukuran akuntabilitas, namun dalam implementasi di lapangan tidak banyak berpengaruhâ?.

â??Kasus di atas menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan berupa penembakan dan penyiksan masih digunakan oleh anggota kepolisian dalam menangani suatu permasalahan. Hal ini menunjukkan kepolisian belum dapat bekerja secara professionalâ?.

â??Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, KontraS Aceh meminta Kapolda Aceh untuk menghentikan upaya-upaya tindakan yang tidak terpuji tersebut yang dilakukan oleh anggotanya. Destika lebih lanjut mengatakan bahwa proses penyelesaiannya atau sanksi yang dijatuhkan bukan hanya bersifat indispliner, tapi juga di iringi dengan proses hukumâ?.

Edy Syah Putra, Kadiv Kajian dan Kampanye KontraS menyebutkan bahwa â??tindakan pihak kepolisian belum bersikap profesional dalam penanganan suatu maslah, dan dalam kultur kepolisian masih bertindak keras dalam menyelesaikan maslah di dalam masyarakat, maka hal tersebutb sangat di sesalkan oleh LSM Kontrasâ? katannya.