Pembiaran Aparat Kepolisian terhadap Pemaksaan Tindakan Pelarangan Ibadah Jemaat HKBP Filadelfia dan Intimisasi serta Kekerasan Kepada Jemaat dan Jurnalis di Tambun Bekasi

Hal : Pembiaran Aparat Kepolisian terhadap Pemaksaan Tindakan Pelarangan Ibadah Jemaat HKBP Filadelfia dan Intimisasi serta Kekerasan Kepada Jemaat dan Jurnalis di Tambun Bekasi

Kepada Yth
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Jenderal Pol Timur Pradopo

Di tempat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) protes keras terhadap perilaku aparat kepolisian gabungan dari Polresta Bekasi, Polsek Tambun Selatan dan Satuan Brimob Polda Metro Jaya yang membiarkan berlangsungnya tindakan pemaksaan pelarangan ibadah jemaat HKBP Filadelfia serta intimidasi dan kekerasan kepada para jemaat serta jurnalis di Tambun, Bekasi pada 6 Mei 2012. Tindakan ini dilakukan oleh massa yang diduga kuat diorganisir oleh kelompok kekerasan (vigilante) yang kerap melakukan tindakan serupa.

Mengingat tindakan intimidasi ini telah berlangsung selama beberapa minggu terakhir, KontraS telah mengirimkan surat kepada Kapolri dengan No. 196/SK-KontraS/VI/2012 yang Meminta Polri untuk Memberikan Perlindungan Hukum Untuk Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi, pada 3 Mei lalu. Sebelumnya, kami juga telah mengirimkan surat kepada Kapolresta Bekasi Kombes Pol Wahyu Hadiningrat, Sik,. MH dalam surat Nomor : 151/SK-KontraS/IV/2012, tentang Permohonan perlindungan hukum dan jaminan hukum pelaksanaan ibadah jemaat gereja HKBP Filadelfia Tambun, Bekasi pada tanggal 14 April 2012. Kami meminta Polri untuk bersikap lebih tegas dan profesional dalam rangka memberikan jaminan atas hak konstitusional jemaat HKBP Filadelfia Bekasi untuk beribadat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 serta tidak memberikan toleransi terhadap setiap tindakan atau perbuatan melawan hukum apalagi dengan cara-cara kekerasan dan mengancam keselamatan. Terulangnya tindakan kekerasan kali ini menunjukkan bahwa institusi Polri dengan sengaja mengabaikan masukan dari publik serta turut menjadi pihak yang membiarkan terjadinya tindakan kekerasan tersebut.

Berdasarkan hasil pantauan KontraS, kekerasan bermula saat jemaat hendak melakukan kebaktian di Gereja HKBP Filadelfia pada 6 Mei 2012. Sekitar pukul 08.30 WIB ratusan massa yang telah berkumpul di depan Klinik Medika Jejalen Jaya menghadang jemaat, melempari, merusak sepeda motor. Mereka juga meneriaki jemaat dengan kata-kata provokatif bernuansa SARA. Aparat kepolisian di lapangan tetap membiarkan tindakan tersebut dan tidak satu pun yang ditangkap.
Saat terjadi negosiasi antara jemaat dengan aparat kepolisian, massa juga mengerumuni Tantowi Anwari, jurnalis dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang meliput proses tersebut. Beberapa orang mengintrograsi Tantowi terkait tulisan “Melawan Tirani Mayoritas” yang tertera di kaos yang dia pakai. Massa kemudian menyeret Tantowi ke hadapan Murhali Barda, Ketua FPI cabang Bekasi. Kemudian memaksa Tantowi untuk membuka kaos. Dua orang perempuan yang dicurigai teman Tantowi juga diperiksa indentitasnya oleh Kasatpol PP. kedua orang ini lalu diusir untuk menjauh dari lokasi kejadian.

Beberapa wartawan lainnya yang sedang tugas liputan juga disweeping oleh massa. Mereka dipaksa menunjukkan identitas. Satpol PP dan intel Polisi juga meminta menunjukkan identitas jurnalis lainnya. Para jurnalis dipaksa untuk menjauhi lokasi, dan tidak diperkenankan meliput peristiwa.

Masih di lokasi yang sama, seorang perempuan yang diduga Jemaat HKBP Filadelfia diminta oleh pihak kepolisian untuk segera meninggalkan lokasi. Saat perempuan tersebut menolak pergi, massa kekerasam (diidentifikasi preman bertato dan beberapa di antara mereka dipanggil dengan sebutan “mandor”) langsung mengerumuni sambil meneriakkan, “Pergi aja”, “Perkosa saja”. Beberapa polisi yang berada di sekitar perempuan tersebut juga tidak melakukan apa-apa. Polisi justru memaksa perempuan tersebut meninggalkan lokasi dengan alasan kondisi tidak kondusif.

Pembiaran tindakan-tindakan nir-toleran dari massa kekerasan kepada Jemaat HKBP Filadelia dan aktivis jurnalis SEJUK oleh aparat kepolisian pada insiden ini, menunjukkan watak aparat kepolisian yang tidak patuh pada nilai-nilai konstitusi UUD 1945 dan sejumlah Peraturan Kapolri, khususnya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Polri dengan segenap instrumen kekerasan yang absah digunakan (sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian) wajib untuk melindungi kelompok minoritas dalam menjalankan ibadahnya, tidak terkecuali Jemaat HKBP Filadelfia secara maksimal. Konteks perlindungan maksimal ini juga harus diterapkan secara meluas kepada para jurnalis yang hadir meliput dan mewartakan peristiwa yang memiliki bobot berita yang tinggi pada isu hak atas berkeyakinan, beragama dan beribadah kepada publik luas. Negara juga tidak boleh mengabaikan kewajibannya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dalam proses pembangunan rumah ibadah, termasuk pembangunan Gereja HKBP Filadelfia Bekasi.

KontraS memandang bahwa Polri justru tampak sengaja membiarkan hal ini terjadi. Aparat kepolisian justru menjadi bagian dari konflik yang terjadi dan justru mengabaikan putusan hukum yang berlaku terhadap pendirian gereja. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena akan terus dijadikan justifikasi bagi kelompok-kelompok massa kekerasan untuk memaksakan nilai-nilainya yang justru tidak tunduk pada konstitusi.

Dalam konteks pemolisian dan hak untuk berkeyakinan, beragama dan beribadah, Polri semestinya mencegah dan menindak tegas aksi-aksi kelompok massa yang menggunakan kekerasan dalam menjalankan misinya.

Sekali lagi, kami mengingatkan bahwa peran institusi Polri semestinya tunduk pada konstitusi dan bersikap netral dalam situasi seperti ini. Kredibilitas Polri amat dipertaruhkan untuk mampu memberi jaminan rasa aman dan perlindungan kepada kelompok-kelompok minoritas agama/keyakinan di Indonesia. Bila kondisi ini tetap dibiarkan, kekerasan atas nama sentimen agama lama kelamaan akan berujung pada pecahnya konflik sosial di seluruh Indonesia.

Jakarta, 7 Mei 2012
Badan Pekerja,

Haris Azhar, MA
Koordinator KontraS