Evaluasi Kinerja Kejaksaan Agung untuk Perkara Pelanggaran HAM Berat

Hal : Evaluasi Kinerja Kejaksaan Agung untuk Perkara Pelanggaran HAM Berat

Kepada Yang Terhormat
Bapak Halius Hosen, S.H.
Ketua Komisi Kejaksaan RI
Di-
Tempat

Dengan hormat,

Sebagai bagian dari pengawasan publik dan berdasarkan pada hak korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan akses keadilan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan korban dan keluarga korban menyampaikan evaluasi terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan pada pemantauan dan interaksi kami dengan Kejaksaan Agung, khususnya dalam penangangan perkara pelanggaran HAM berat, setidaknya kami mendapatkan dua persoalan yang seharusnya mendapatkan pengawasan, pemantauan dan penilaian dari Komisi Kejaksaan.

Pertama, berkenaan dengan tidak  jelasnya prosedur penanganan perkara pelanggaran HAM berat di Kejagung. Hal ini terlihat dari:

  • Tidak berjalannya proses penyidikan terhadap berkas hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM untuk: 1) peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, yang telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada April 2002. 2) Peristiwa Mei 1998 yang diserahkan kepada Jaksa Agung pada September 2003. 3) Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997/1998 yang telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada November 2006. 4) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989 yang telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada Oktober 2008. 5) Peristiwa Wasior-Wamena, Papua 2001 dan 2003 (non-retroaktif) yang telah diserahkan kepada Jaksa Agung pada September 2004.
  • Pada tahun 2008 Jaksa Agung menyatakan bahwa terhadap berkas peristiwa Talangsari, Lampung 1989  masih dilakukan penelitian oleh Tim Peneliti Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM berat mengenai kelengkapan persyaratan formil dan materiil. Akan tetapi sampai saat ini tidak ada penjelasan mengenai hasil penelitian tersebut.
  • Terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat Timor-Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984, Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus terlebih dahulu menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc, tetapi terhadap 5 (lima) berkas hasil penyelidikan tersebut, Jaksa Agung menyatakan membutuhkan terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu sebelum melakukan penyidikan.
  • Jaksa Agung tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. MK dalam keputusannya menyatakan bahwa pasal 43 ayat 2 tetap berlaku. MK menyatakan untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan HAM ad hoc suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi berwenang, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sehingga dalam hal ini, seharusnya Jaksa Agung dapat melakukan penyidikan tanpa harus menunggu terbentuknya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.
  • Peristiwa Wasior terjadi tahun 2001 dan Wamena terjadi 2003. Mengacu pada pasal 27 dan pasal 43 ayat (1) UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penuntutan perkara ini tidak harus menggunakan pengadilan HAM ad hoc, tetapi melalui pengadilan HAM. Sehingga seharusnya, Jaksa Agung dapat segera melakukan penyelidikan kasus ini, tanpa harus menunggu terbentuk pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu.

Kedua, berkenan dengan tidak jelasnya koordinasi, informasi dan komunikasi mengenai penanganan perkara pelanggaran HAM berat. Hal ini terlihat dari:

  • Minimnya informasi dan komunikasi yang memadai mengenai penanganan perkara pelanggaran HAM berat, baik dalam struktur organisasi Kejaksaan Agung maupun mengenai Jaksa-Jaksa yang bertanggungjawab untuk perkara pelanggaran HAM berat. 
  • Tidak adanya tanggapan dari Jaksa Agung dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kejaksaan Agung terhadap surat dan permohonan pertemuan dari KontraS mengenai pembahasan penanganan perkara pelanggaran HAM berat
  • Pada tahun 2008 media massa memberitakan bahwa berkas †berkas perkara pelanggaran penyelidikan pelanggaran HAM berat sempat dinyatakan hilang oleh pihak Kejaksaan Agung, meskipun kemudian dilakukan klarifikasi oleh pihak Kejaksaan Agung.

Mengacu pada hal-hal di atas dan mendasarkan pada kewenangan Komisi Kejaksaan, Kami berharap Komisi Kejaksaan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian mengenai prosedur penanganan perkara pelanggaran HAM berat di Kejaksaan Agung.
  • Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian mengenai kordinasi, informasi dan komunikasi mengenai penanganan perkara pelanggaran HAM berat di Kejaksaan Agung.
  • Melakukan publikasi mengenai hasil pengawasan Komisi Kejaksaan terhadap  terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat.

Demikian masukan ini kami sampaikan, semoga dapat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya, demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Terimakasih atas perhatiannya.

 

Jakarta, 23 Juli 2012
Badan Pekerja,

 

Haris Azhar
Koordinator