Kontras Nilai Presiden tidak Taati UU dalam Kasus 1965/66

JAKARTA–MICOM: Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan melakukan permintaan maaf terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) termasuk peristiwa 1965-1966 dinilai Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) sebagai langkah tidak taat UU. Kontras menilai permohonan maaf hanyalah pelengkap, bukan hal yang utama.

"Presiden membuktikan dirinya tidak taat atau tidak mau mengikuti mekanisme dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Presiden selama ini lebih condong ingin memberikan solusi dengan tanpa penindakan hukum," kata Koordinator Eksekutif Kontras Haris Azhar kepada Media Indonesia, Senin (30/7).

Haris menerangkan Presiden SBY selalu menyebut perlu solusi terbaik dalam pelanggaran HAM berat yang termasuk dalam peristiwa 1965-1966. Hal itu memperlihatkan keengganan kepala negara untuk menindak secara hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat.

"Permohonan maaf itu memang perlu, tapi sebatas pelengkap saja. Terpenting itu pengungkapan kasus itu dan reparasi terhadap korban yang menderita selama ini, jadi maaf saja tidak akan cukup," timpal Haris.

Lebih jauh, Haris menengarai keinginan Presiden SBY yang ingin melakukan permohonan maaf atas pelanggaran HAM berat itu hanyalah kepanikan presiden semata. Ia pun tidak yakin presiden akan melakukan keputusan besar terkait kejahatan HAM berat yang terjadi selama ini.

"Presiden SBY sudah 8 tahun menjabat, saya tidak yakin sisa dua tahun ini akan ada kebijakan besar. Kemana saja selama delapan tahun itu soal pelanggaran HAM, hanya kepanikan saja menjelang akhir jabatannya," sindir Haris.

Seperti diketahui, Komnas HAM dalam laporannya menyebut terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966 dan menginginkan dilakukannya pengadilan HAM terhadap pelakunya. Disisi lain, Presiden SBY berencana melakukan permohonan maaf yang didalamnya tidak mengikutsertakan penindakan hukum atas pelanggaran HAM itu. (Fid/OL-10)