GRHC: Polisi di Aceh Masih Suka Gunakan Kekerasan Pada Masyarakat

BANDA ACEH – Aparat kepolisian di Aceh dinilai belum bisa melepaskan diri dari kekerasan saat berhadapan dengan masyarakat. Penilaian ini disampaikan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Gerakan Respon Hukum Cepat (GRHC), yang selama ini memantau kinerja kepolisian di Aceh, Selasa 31 Juli 2012.

Setidaknya, dua peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam dua minggu terakhir, yaitu pemukulan seorang anak dibawah umur oleh oknum di kota Lhokseumawe. Anggota GRHC Askalani mengatakan, seorang anggota polisi menghajar beberapa bocah di bawah umur di kawasan Waduk Keliling, Desa Pusong Lama, Banda Sakti.

"Sedangkan kasus satu lagi terjadi di Aceh Barat Daya dimana Kapolsek Blangpidie melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap Yusma, siswa kelas II IPS 1 SMA Blangpidie, hingga kemudian si korban harus diopname di rumah sakit," katanya.

Askalani mengatakan, GRHC telah melaporkan pemukulan dan penganiayaan yang terjadi di Aceh Barat Daya ke Propam Polda Aceh, Senin 30 Juli 2012.

Destika Gilang Lestari, koordinator Kontras Aceh menambahkan, apa yang terjadi di Abdya dan Lhokseumawe menunjukkan bahwa masih ada anggota polisi yang belum mengerti kode etik polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

“Kami meminta agar proses hukum terhadap pelaku penyiksaan tersebut dilakukan dengan transparan dan tegas,” kata Gilang.

Sementara itu, Hospi Novrizal Sabri, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menginginkan aparat kepolisian untuk senantiasa bertindak profesional dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia dalam menangani atau meminta keterangan atas suatu permasalahan.

“Penganiayaan yang dilakukan oleh seorang Kapolsek mencerminkan budaya kekerasan belum jauh dari pribadi seorang polisi,”kata Hospi.

Menurut Hospi, penganiayaan justru dilakukan di markas kepolisian yang merupakan tempat orang mencari keadilan hokum. “Ini merupakan ironi bagi pengeakan hukum di Aceh,” katanya.[]