Film Pengkhianatan G30S/PKI di Mata “Soeharto”

TEMPO.CO, Jakarta – Rabu, 30 September 1998, adalah hari terakhir pemutaran film Pengkianatan G30S/PKI. Selama masa Orde Baru, film tentang Gerakan 30 September (1965) ini merupakan film wajib diputar setiap 30 September, jelang 1 Oktober. Tapi, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah memutuskan film yang diproduksi pada 1984 ini tidak akan diputar atau diedarkan lagi. Juga film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, karena berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seseorang presiden.

Lalu, bagaimana film ini di mata Amoroso Katamsi yang dalam film itu berperan sebagai Soeharto muda?

"Film itu adalah film yang bagus, bukan karena saya sebagai pemainnya ya, tapi itu diakui banyak orang bahwa bagus dari aspek seni," ujar Amoroso, pemeran Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI ketika ditemui, Rabu, 26 September 2012.

Sebagai aktor, pria yang saat ini berusia 72 tahun ini tak punya pretensi apa pun terhadap kejadian pada 30 September 1965. "Saya hanya bermain sebaik mungkin. Begitu pula Arifin C. Noer sebagai sutradara, jadi sutradara sebaik mungkin," katanya.

Kini, ketika masa berganti dan era kebebasan berekspresi pun datang, banyak yang mengecam isi film. Amoroso tak menampik bahwa ada muatan politik dari film tentang pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu. "Karena film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI saat itu. Jadi memang ada semacam muatan politiknya," ujar dia.

Sebagai sosok yang mengalami masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, Amoroso tak bisa menyatakan kebenaran isi film yang berfokus di Lubang Buaya itu. "Kalau dikatakan ini tidak betul, tergantung siapa yang ngomong," ujar dokter kesehatan jiwa ini. Sebab, dalam politik, menurut dia, benar atau salah itu tidak pernah mutlak.

"Tapi kalau tanya saya yang mengalami sendiri, ya benar PKI (Partai Komunis Indonesia) itu seperti yang digambarkan dalam film," ujar ayah dari penyanyi Aning Katamsi ini.

Semasa kejadian 30 September 1965, Amoroso adalah seorang aktivis yang tergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta. Organisasinya waktu itu dilarang banyak beraktivitas oleh partai yang dipimpin Dipo Nusantara Aidit.

"Saya juga bergabung dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Orang Manikebu itu kalau mau pentas saja susah," ujar dia. Jadi, memang diakuinya aktivitas PKI seperti yang ditunjukkan dalam film.

Sejarahwan Hilmar Farid mengakui kehebatan film yang diluncurkan pada 30 September 1984. "Saya sendiri, sewaktu masih sekolah, dua kali digiring untuk menonton film itu," ujar dia melalui surat elektronik. Awalnya, ia takjub. "Karena tidak banyak film Indonesia yang kualitasnya seperti itu."

Tapi ketika menonton kedua kalinya, Hilmar justru bersikap kontras. "Saya sudah jauh lebih kritis dan ikut tertawa ketika ada orang yang tidur mendengkur keras dalam bioskop."