KontraS Nilai Polisi Gagal Terapkan Prinsp HAM di Poso

Skalanews – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) prihatin dan mengecam terjadinya kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penegakan hukum 2012 di Poso.

Menurut kacamata KontraS, pendekatan kekerasan berlebihan yang dilakukan aparat polisi kepada orang-orang yang dicurigai terlibat pada aksi-aksi teror di sana, menunjukkan bahwa polisi telah gagal menerapkan prinsip-prinsip HAM maupun menggunakan pendekatan-pendekatan profesional sesuai dengan Tugas, Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Kepolisian Republik Indonesia.

"Dampaknya amat serius. Selain jumlah korban jiwa dan kerusakan fisik lainnya yang terus meningkat (baik dari sisi warga sipil dan aparat kepolisian yang bertugas), praktik-praktik seperti salah tangkap dan penyiksaan dalam proses interogasi juga masih kerap dilakukan," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (28/12).

Menurut Haris, peristiwa terakhir yang terjadi adalah penyerangan kelompok bersenjata terhadap anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) yang sedang melakukan patroli di Desa Kalora Kabupaten Poso pada 20 Desember 2012.

"Akibat penyerangan itu, empat anggota Brimob Polda Sulteng tewas, akibat luka tembak dan beberapa lainnya masih dirawat intensif di rumah sakit," kata Haris.

Pasca peristiwa, tim gabungan polisi dari Polda Sulteng dan Densus 88 Anti Teror bergerak cepat melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga di Desa Kalora dan Tambarana untuk mengejar pelaku penembakan.

"Pada operasi pengejaran tersebut, polisi menangkap 14 warga sipil, yang berprofesi sebagai guru sekolah dan petani," kata Haris.

Sejak penangkapan dan proses interogasi intensif di Polres Poso, Haris menerangkan, mereka mendapatkan intimidasi, penyiksaan fisik dan bentuk-bentuk dehumanisasi yang brutal.

Menurut Haris, pada proses selanjutnya yang dilakukan secara bertahap pada tanggal 26 dan 27 Desember 2012, tim penyidik gabungan Polri membebaskan mereka setelah melalui proses penahanan 7 x 24 jam.

"Karena tidak terbukti terlibat pada penyerangan yang menyebabkan kematian anggota Brimob di Desa Kalora," ujar Haris.

Terkait adanya penyiksaan fisik dan bentuk kekerasan lainnya yang dialami ke-14 korban salah tangkap tersebut, Kapolres Poso AKBP Eko Santoso menyatakan bahwa ke-14 orang tersebut sudah datang ke Polres Poso dalam keadaan babak belur. "Sungguh aneh," kata Haris.

Sementara merespons insiden penembakan terhadap anggota Brimob tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan kepada aparat keamanan untuk segera melakukan langkah tepat, tegas dan benar.

Tidak hanya itu, Presiden juga menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan dan rakyat harus dilindungi. "Interpretasi langkah tepat, tegas, dan benar tentu saja harus dijalankan sesuai dengan koridor penegakan hukum yang ada maupun prinsip-prinsip HAM, di mana Polri juga memiliki ketentuan internal yang mengaturnya," kata Haris.

Namun demikian Haris menjelaskan, praktiknya di lapangan, instruksi presiden tidak menjadi perhatian bagi polisi dalam melakukan operasi penegakan hukum. Bahkan kekerasan terus terjadi.

Dalam proses penindakan, polisi telah mengabaikan nilai-nilai HAM dan kerja profesional aparat penegak hukum. Polisi gagal melindungi warga, dan justru polisi telah membabi buta, menangkap dan menyiksa warga dalam proses penegakan hukum. "Kondisi ini justru menunjukkan Polri tidak berfungsi dalam mendukung kerja penegakan hukum," kata Haris.

Polda Sulteng

KontraS menilai pernyataan-pernyataan pejabat kepolisian dalam merespons peristiwa di Poso hanya klaim sepihak. Tidak mendengarkan suara dan akibat yang diderita masyarakat.

"Kami memberikan perhatian serius kepada performa Polda Sulteng. Tidak ada capaian yang konkrit dari Polda Sulteng," kata Haris.

Menurutnya agenda penegakan hukum yang diterapkan di Poso tahun ini tidak jauh berbeda dengan operasi penegakan hukum yang diterapkan di tahun 2007. "Melakukan penegakan hukum dengan cara kekerasan," ujarnya.

Bahkan dalam dua tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Brigjen Pol. Dewa Parsana, KontraS mencatat telah terjadi peningkatan eskalasi kekerasan di Poso dan beberapa wilayah Sulteng lainnya.

Dari catatan peristiwa tersebut, delapan anggota kepolisian yang bertugas tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. "Data ini juga menunjukkan lemahnya perlindungan dan penerapan standar prosedur bagi anggota yang bertugas di wilayah rawan seperti Poso," kata Haris.

Kemudian sambung Haris, di bidang penegakan hukum juga tidak terlihat adanya perkembangan penyelidikan dalam mengungkap berbagai kasus yang kerap meresahkan warga. Para pejabat kepolisian justru cenderung hanya menyampaikan pernyataan-pernyataan yang meresahkan publik.

KontraS meyakini bahwa berkepanjangannya kekerasan dan semakin rumitnya kondisi di Poso, yang memakan korban sipil maupun anggota bawahan Polisi justru diakibatkan oleh ketidak profesionalan Polisi itu sendiri.

Karena itu menurut Haris, KontraS meminta agar Polri melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman dalam penegakan hukum dan operasi keamanan di Poso. Operasi penegakan hukum yang dilakukan harus dipastikan dapat menjawab pengungkapan peristiwa secara profesional dan memastikan penerapan nilai-nilai HAM dalam prosesnya.

"Termasuk fokus untuk menyelidiki kasus penyerangan yang mengakibatkan kematian empat anggota Brimob Polda Sulteng," kata Haris.

Tim itu sambung Haris juga diharapkan dapat melakukan penyelidikan atas penyiksaan yang dialami oleh 14 warga Poso pada proses penangkapan dan interogasi di Mapolres Poso.

Selain itu menurut Haris, KontraS juga meminta dilakukan evaluasi menyeluruh atas operasi penegakan hukum yang dilakukan di Poso. Evaluasi itu juga harus menyentuh penilaian kinerja Polda Sulteng yang syarat dengan ketidakmampuannya menjalankan kepemimpinan. (Andrian Gilang/buj)