Rabithah Thaliban Kritik Tajam Laporan Kontras Aceh

BANDA ACEH – Rabithah Thaliban Aceh (RTA) menilai laporan akhir tahn 2012 lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, sangat tendesius. RTA juga mengatakan KontraS Aceh sedang mengiring opini publik bahwa seolah proses penindakan terhadap pelaku pelanggaran hukum syari’ah sebagai sebuah kekerasan.

"Disatu sisi mereka berharap agar proses penegakan hukum bisa berjalan dan warga tidak main hakim sendiri. Namun mereka juga mengkategorikan hukuman cambuk di Aceh sebagai kekerasan berbasis syari’ah," kata Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Teuku Zulkhairi, MA, Minggu 13 Januari 2013.

Padahal, kata dia, hukuman cambuk ini adalah legal formal dan dibenarkan oleh hukum yang berlaku di Aceh. Dengan kata lain, hukuman ini jelas sekali bukan aksi main hakim sendiri oleh warga.

"Maka, kami menilai bahwa kategori kekerasan berbasis syari’ah versi Kontras Aceh ini adalah sebuah upaya pembusukan, pembodohan dan upaya pengiringan opini publik untuk benci kepada hukum syari’ah di Aceh. Kami menuntut Kontras Aceh untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tuduhannya ini," kata dia.

Sebagaimana yang diberitakan sebelumnya, KontraS Aceh, Kamis 3 Januari 2013, merilis bahwa kekerasan atas nama syariat masih banyak terjadi di Aceh selama tahun 2012. Kekerasan yang dimaksud adalah prilaku main hakim sendiri yang dilakukan oleh sebagian warga di Aceh dengan memandikan dan memukul para pelaku pelanggaran syariat islam.

Hal ini diungkapkan oleh Koordinator KontaS Aceh Destika Gilang Lestari di Cafe 3 In 1 Kota Banda Aceh, Kamis 3 Januari 2013. "Budaya yang melegalkan praktek kekerasan yang berbasis agama," kata Destika.

Katanya, masih adanya sikap ini sangat disesalkan. KontraS Aceh berharap kekerasan-kekerasan tersebut dapat dihilangkan dengan penegakan hukum yang kuat.

"Seharusnya proses hukum yang dikedepankan. Namun yang terjadi justru penghakiman jalanan yang lebih dikedepankan," katanya.(mrd)

Rabithah Thaliban Kritik Tajam Laporan Kontras Aceh

Banda Aceh – Kontras Aceh lewat Koordinatornya, Destika Gilang Lestari merilis laporan yang dimuat di Kompas.com dengan judul: "Kasus Kekerasan Berbasis Syariat Meningkat di Aceh" Kamis (3/1/2013 ). Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Teuku Zulkhairi, MA menyatakan laporan ini bertendensi pembusukan syari’at Islam. Dalam link berita ini, ratusan komentar muncul menghujat dan menghina Aceh dan syari’at Islamnya.

Dalam laporan ini Destika Gilang Lestari mengungkapkan, bentuk pelanggaran hukum yang muncul dalam penegakan hukum syariat di Aceh di antaranya memandikan warga atau melakukan kekerasan terhadap mereka yang diduga melanggar syariat Islam. "Bentuknya bermacam-macam, selain dimandikan, ada yang diarak, dipukuli, ditelanjangi, sampai ada yang dinikahkan. Pelaku kekerasan umumnya adalah massa, adapula oleh aparat," kata Gilang dalam laporan tersebut.

Padahal menurut Zulkhairi tanpa syari’at Islam diterapkan di Aceh, penindakan terhadap pelaku maksiat tetap akan dilakukan oleh masyarakat Aceh. "Jadi, apa pasal tindakan warga semacam itu disebut sebagai "kekerasan berbasis syari’ah?" bahkan, sebenarnya aksi warga semacam itu adalah hukum adat dan kearifan lokal, tidak ada sangkut pautnya dengan syari’at Islam,"tanyanya. Pelaku perzinahan dalam syari’at Islam hukumannya justru lebih keras yaitu rajam, sambungnya.

Selanjutnya disebutkan dalam laporan tersebut: "Dari 50 kasus kekerasan tersebut, sebanyak 23 kasus adalah kekerasan yang terjadi dalam kasus khalwat (berbuat mesum), 11 kekerasan saat terjadi razia oleh polisi syariat atau petugas Wilayatul Hisbah, 6 kasus penerapan hukuman cambuk, 2 razia oleh warga, 1 kasus pencabulan, dan 1 kasus minuman keras".

Di akhir berita ini disebutkan, bahwa "Kontras Aceh sangat menyayangkan bentuk kekerasan yang muncul ini. Proses penegakan hukum yang seharusnya dimunculkan, tetapi justru penghakiman jalanan yang dikedepankan. Ke depan, harus disosialisasikan mengenai larangan main hakim sendiri oleh warga yang menangkap pelaku pelanggaran syariat".

Atas laporannya ini, RTA menilai bahwa Kontras Aceh telah melakukan penggiringan opini publik bahwa seolah proses penindakan terhadap pelaku pelanggaran hukum syari’ah sebagai sebuah kekerasan.

"Lihat saja logika Kontras, di satu sisi mereka berharap agar proses penegakan hukum bisa berjalan dan warga tidak main hakim sendiri, namun mereka juga mengkategorikan hukuman cambuk di Aceh sebagai kekerasan berbasis syari’ah," kecam Zulkhairi.

Padahal hukuman cambuk ini adalah legal formal dan dibenarkan oleh hukum yang berlaku di Aceh. Dengan kata lain, hukuman ini jelas sekali bukan aksi main hakim sendiri oleh warga. Maka, RTA menilai bahwa laporan tentang kategori kekerasan berbasis syari’ah versi Kontras Aceh ini adalah sebuah upaya pembusukan, pembodohan dan upaya pengiringan opini publik untuk benci kepada hukum syari’ah di Aceh.

RTA menuntut Kontras Aceh untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tuduhannya ini.