Surat Terbuka untuk Ketua Komnas HAM Terkait Penuntasan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Hal : Surat Terbuka untuk Ketua Komnas HAM Terkait Penuntasan Kasus-Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Kepada Yth.
Ketua Komnas HAM
Bapak Otto Nur Abdullah
Di tempat

Dengan hormat,
Bersama datangnya surat ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ingin kembali mengingatkan perihal agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Di mana kasus-kasus tersebut telah melalui proses penyelidikan komprehensif yang dilakukan Komnas HAM sebelumnya, antara rentang waktu 2002 hingga 2012.

Sepanjang satu dekade tersebut, institusi Komnas HAM telah berhasil membentuk serangkaian tim penyelidikan â€nyaris semuanya bersifat ad hoc- dan telah tuntas menyelidiki kasus-kasus yang teridentifikasi kuat memiliki unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di antaranya adalah Peristiwa 1965/1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Mei 1998, Wasior dan Wamena, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, dan Peristiwa Talangsari 1989.

Laporan-laporan Pro-Justisia tersebut secara runut telah diberikan kepada Kejaksaan Agung, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas dugaan praktik pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Namun demikian, KontraS memandang hambatan nyata penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, khususnya yang terjadi sebelum tahun 2000 terletak pada keengganan Kejaksaan Agung untuk mempercepat serangkaian proses penyidikan hingga layak untuk diproses pada tahapan selanjutnya yakni membentuk Pengadilan HAM ad hoc sebagai wujud pemenuhan rasa keadilan kepada komunitas korban pelanggaran HAM masa lalu, yang juga memiliki hak-hak konstitusional setara sebagaimana warga negara Indonsia.

Alasan-alasan penolakan Kejaksaan Agung yang terlampau luas dan terkesan mengada-ada seperti syarat formil dan materiil â€termasuk belum disumpahnya para penyelidik-, ketiadaan rekomendasi DPR RI terkait proses penyidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, digunakannya prinsip Nebis in Idem pada konteks Pengadilan Militer Tim Mawar, tidak bisa diterapkannya prinsip pertanggungjawaban komando dalam konteks kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998, ketidaklengkapan berkas penyelidikan (Pasal 20 ayat 3), bolak-baliknya berkas penyelidikan, dan penelantaran kasus Talangsari 1989 sejak tahun 2008 dengan dalih berkas penyelidikan masih diteliti oleh Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM yang berat terus menerus direproduksi hingga kini.

Inkonsistensi Kejaksaan Agung dalam menjalankan kewajiban hukumnya amat mencederai kesepakatan-kesepakatan yang telah diatur secara legal dan tertulis, khususnya pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (4), Pasal 28D ayat (1), Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan pandangan-pandangan penting, yang sesungguhnya bisa digunakan untuk meluruskan benang kusut proses penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Pentingnya tahapan penyidikan sebelum menyelenggarakan Pengadilan HAM ad hoc menjadi pandangan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi. Termasuk dukungan Mahkamah Agung pada agenda permohonan rehabilitasi korban kasus pelanggaran HAM masa lalu dan termasuk dukungan untuk membatalkan produk-produk diskriminatif pada Pemilu yang diajukan pemohon korban 1965/1966.

Terobosan lain yang coba didorong melalui hasil rekomendasi DPR RI pada kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998 salah satunya adalah dengan mendorong proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang hilang, memberikan rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban, termasuk mendorong proses pengesahan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.

Bahwa sesungguhnya Komnas HAM sebagai komisi negara independen telah memiliki legalitas politik, dukungan moriil bahkan apresiasi publik untuk bekerja mendorong agenda pemuliaan hak-hak asasi manusia, tidak terkecuali pada isu pelanggaran HAM yang berat dan terjadi di masa lalu. Modalitas ini harus bisa dijadikan kunci untuk mendorong terobosan-terobosan legal dan politik yang ada saat ini.

Modalitas ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para komisioner Komnas HAM dalam mengkonsolidasikan komitmen mereka dalam membangun kultur politik HAM yang adil dan menjamin perlindungan maksimal hak-hak konstitusional warga negara Indonesia. KontraS berharap pekerjaan rumah para komisioner Komnas HAM dari periode otoritarian masa lalu ini dapat dituntaskan dengan mengedepankan martabat para korban dan keluarga.

Demikian kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 22 Januari 2013
Hormat kami
Badan Pekerja KontraS,

Haris Azhar, MA
Koordinator