Wow! Polisi Bisa Perintah Tentara

JAKARTA â?? Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengeluarkan surat perintah panglima untuk internal anggotanya. Isinya, anggota TNI bisa digerakkan secara resmi untuk membantu polisi. Dalam operasi perbantuan itu, kendalinya ada di polisi.

”Memang dalam komandonya itu nanti di bawah Polri yang bertanggung jawab,” ujar Agus pada rapat pimpinan TNI di Mabes TNI, Cilangkap Jakarta Timur, kemarin.

Surat perintah panglima itu melengkapi MoU antara TNI-Polri yang ditandatangani pada Senin (28/1). Menurut Agus, dalam tugas bantuan TNI, prajurit bisa diperintahkan oleh pimpinan Polri yang memegang komando. ”Ini pengendalian sepenuhnya nanti memang dari Polri, termasuk biaya operasinya ditanggung polisi,” kata panglima yang didampingi para pejabat teras Mabes TNI dan pimpinan tiga angkatan (AD, AU, AL) itu.

Pasukan TNI bisa digerakkan ke lokasi yang rawan kerusuhan secara serta-merta. ”Atau jika sudah ada indikasi, bisa digerakkan lebih awal oleh pimpinan TNI setempat,” ucap Agus.

Dia mencontohkan, menggerakkan pasukan Kostrad dari Divisi 1 Cilodong, Jawa Barat, ke pusat kota membutuhkan waktu setidaknya tiga jam. ”Jalanan yang macet, itu bisa diantisipasi dahulu. Jadi beberapa hari sebelumnya sudah bisa disiagakan. Misalnya, kalau Kostrad ya di Gambir (Makostrad, Red),” ungkapnya.

Nah, untuk biaya menggerakkan pasukan ini masih ditanggung oleh TNI. ”Nanti kalau sudah masuk operasinya, baru ditanggung polisi,” kata mantan Pangarmabar itu.

Bagaimana jika ada pelanggaran? Panglima menegaskan, hukuman tetap diberikan berdasarkan hukum militer. ”Tetap disidik oleh polisi militer dan disidangkan di Mahkamah Militer,” ujar Agus.

Dia meminta anggota TNI di lapangan tak resah dengan MoU dan surat perintah panglima itu. ”Pada kondisi tertentu saja. Ini juga bukan berarti TNI di bawah Polri , bukan seperti itu,” katanya.

Secara terpisah, Haris Azhar dari KontraS menilai, MoU dan surat perintah panglima itu bisa menimbulkan polemik dalam aplikasinya. ”Harus diakui di lapangan berbeda. Masih ada ego antarsatuan yang kuat,” ucapnya.

Ini bisa berakibat fatal jika dalam kondisi rusuh misalnya, tentara yang di garis depan bertindak di luar kendali Polri. ”Polri harus menjelaskan kondisi apa yang membutuhkan TNI itu. Ini harus diatur dalam peraturan yang baku, bukan definisi yang samar-samar,” ungkapnya.

Harus Izin Menko Polhukam

Sementara, sesuai Inpres No. 2/2013 tentang Penanganan Konflik Sosial di Masyarakat, gubernur memang dapat mengerahkan pasukan bersenjata. Meski demikian, kewenangan itu harus sesuai dengan hasil koordinasi dengan forum pimpinan daerah (forpimda), termasuk Kapolda dan Pangdam setempat. Yang terpenting lagi, pengerahan pasukan bersenjata harus seizin Menko Polhukam.

Menhan Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa dalam Inpres No. 2/2013, kepala daerah tidak boleh bertindak sendiri dalam mengerahkan personel TNI-Polri. Kepala daerah harus tetap melapor dahulu kepada Ketua Komando Nasional Menko Polhukam Djoko Suyanto. "Bukan, bukan mereka meminta. Di sini ketuanya Menko Polhukam," kata Purnomo di Istana Negara kemarin.

Purnomo memaparkan, berdasar inpres itu, kepala daerah memang memiliki peran penting dalam mengatasi konflik di daerahnya. Sebelum diterbitkan inpres itu, pihaknya juga telah mengaktifkan kepala daerah untuk ikut memperhatikan gangguan keamanan. "Selama ini dalam UU Penanganan Konflik Sosial sudah jelas kepala daerah setempat melakukan koordinasi," katanya.

Saat ditanya apakah isi inpres mengadopsi seluruh isi RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang kini pembahasannya macet di DPR, Purnomo menjawab tidak. Dia menegaskan, inpres dan RUU Kamnas tidak berkaitan. RUU Kamnas mengatur lingkup yang lebih luas, seperti tertib sipil, darurat sipil, dan darurat militer pada keadaan perang. Adapun inpres mengatur upaya menghadapi gangguan keamanan. "Jadi, inpres ini jangan diterjemahkan ancaman. Inpres ini diartikan untuk menghadapi gangguan dan itu polisi di depan," ungkapnya. (jpnn/p6/c2/ary)