KontraS: Sisi Kemanusiaan Presiden Hilang

Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut sisi kemanusian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah hilang. KontraS juga menyebut Presiden sudah tidak memiliki agenda kerakyatan.

Pernyataan itu muncul karena adanya pengabaian empat (4) Rekomendasi DPR pada 2009 terkait Penghilangan Orang Secara Paksa peristiwa 1997-1998 oleh Presiden. Padahal, Ombudsman telah menyatakan pengabaian itu perbuatan maladministrasi.

"SBY tidak pernah membayangkan, bagaimana jika yang hilang itu anaknya. Sisi kemanusian dan kerakyatanya telah hilang digantikan oleh agenda politik. Yang diungkapkan SBY semua mengenai dirinya sendiri dan kepentingan politik partainya," ungkanya Kordinator Eksekutif KontraS, Haris Azhar saat dihubung Media Indonesia, Rabu (20/3).

Menurutnya, Presiden hanya melihat tragedi itu dari sisi keuntungan politik. Padahal peristiwa 1997-1998 merupakan momen penting yang bisa membuat SBY berkuasa.

"Para penguasa sekarang, menari-nari di atas penderitaan para korban yang rela mengorbankan nyawanya demi demokrasi. Jika para korban tidak diberikan keadilan, maka itu penghinaan terhadap demokrasi," ujarnya.

Dalam catatan KontraS, tidak ada satu pun kasus pelanggaran yang ditangani di masa kepemimpinan SBY. Justru sebaliknya, korban pelanggaran HAM terus bertambah.

Korban pelanggaran pada 2011 sekitar 1.000 orang dan bertambah menjadi menjadi sekitar 2.000 orang pada 2012. Menurut Haris, semakin meningkatnya pelanggaran HAM karena tidak adanya dasar atau patokan bagi semua pihak dalam bertindak, yaitu pengadilan HAM.

"Kepemimpinan SBY seperti hutan rimba, tidak ada hukuman bagi pelanggar HAM. SBY hanya bertindak ketika merasa dizolimi, tapi untuk bangsa tidak ambil pusing," katanya.

Kritikan terhadap SBY, lanjut Haris, tidak hanya dari dalam negeri. Anggota Komisi Tinggi HAM PBB Navi Pillay, pernah mengatakan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan SBY mengabaikan pelanggaran HAM di masa lalu.

"Jalan satu-satunya mendesak SBY adalah ke PBB baik melalui Dewan HAM maupun pelapor khusus PBB. Sedangkan melalui pengadilan kriminal Internasional tidak bisa karena belum meratifikasi Statuta Roma," ungkapnya.

Haris mengungkapkan bahwa Jaksa Agung Basrief Arief pada 2011 pernah menyatakan bahwa teknis hukum untuk melakukan penuntutan tidak ada masalah, melainkan karena belum adanya sinyal dari SBY. Apalagi yang terlibat berasal dari TNI dan Polri.

"Kalau Kejagung panggil, mereka bisa resisten, sehingga perlu ada prakondisi yang hanya bisa dilakukan SBY, apalagi melibatkan Wiranto dan Prabowo Subianto," pungkasnya.