Pemerintah Indonesia Wajib Penuhi Keadilan Korban Konflik Aceh

JAKARTA – Organisas HAM yang berbasis di London – Inggris A’nesty International, hari ini mengeluarkan laporan berjudul ‘Saatnya Menghadapi Masa Lalu" (Time to Face The Past), yang mendokumentasikan kegagalan pemerintah Indonesia, memberikan keadilan atas kekerasan selama konflik di Aceh, sejak 1989 hingga 2005.

Laporan itu disampaikan dan dibahas dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (18/4) pagi. Hadir dalam jumpa pers, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Isabelle Arradon, Koordinator KontraS Haris Azhar, Koordinator KontraS Aceh, Destika Gilang Lestari, dan perwakilan korban, Murtala.
Amnesty International mencatat sebanyak 10 hingga 30 ribu penduduk sipil di Aceh, menjadi korban kekerasan aparat militer serta pasukan pendukungnya. Hingga kini, kehidupan mereka secara fisik dan kejiwaan terkoyak, tanpa mendapatkan hak-haknya kembali. Belum lagi mereka yang kehilangan sanak keluarganya.

"Kegagalan pemerintah Indonesia menyediakan kebenaran, keadilan, dan reparasi atau pemulihan bagi para korban dan keluarga, menyebabkan penderitaan besar bagi orang-orang di Aceh saat ini. Mereka juga tidak tahu apa yang terjadi pada anggota keluarga yang hilang," kata Isabelle Arradon, Deputi Direktur Asia Pasifik dari Amnesty International.

Arradon menambahkan, kekerasan yang dialami oleh warga Aceh semasa konflik berupa penyiksaan, penahanan tanpa proses peradilan, penculikan, serta pemerkosaan bagi para perempuan. Praktik kekerasan, lanjut Arradon, tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan melainkan juga oleh orang-orang yang menjadi lawannya.

Para korban yang ditemui oleh Arradon mengaku, masih ketakutan melawan impunitas di Aceh, termasuk menghadapi kenyataan. Dimana tidak satupun kasus-kasus pelanggaran HAM sejak 1989-2004, yang dibawa ke persidangan, termasuk usai penandatanganan perjanjian damai Helsinki tahun 2005.
"Yang saya temui adalah mereka ingin melupakan tetapi tidak bias. Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang mereka alami dan fakta bahwa keadilan, pemulihan belum ada sampai saat ini. Keinginan itu ada dan ada terus. Akhirnya negara yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di masa lalu," kata Arradon.

"Berdasarkan hukum internasional, ini adalah kewajiban bukan pilihan. Dengan memenuhi kewajiban ini, justru Indonesia mengambil langkah-langkah kongkrit untuk memperbaiki keadaan perlindungan dan pemajuan HAM di negeri ini," tambahnya

Perwakilan korban Murtala, menyampaikan siapapun yang kelak terpilih sebagai Presiden mendatang ia tidak memperdulikannya, asalkan keadilan bagi korban dipenuhi. Bahkan ia mengaku tidak tertarik menanggapi polemik soal bendera Aceh, yang sedang ramai dibahas oleh pemerintah Aceh dan Jakarta.
"Saya tidak tahu persis siapa-siapa yang khusus terlibat dalam perang di Aceh. Hari ini saya tidak bicara masalah politik. Tapi siapapun pelakunya yang penting bagi kami harus bertanggungjawab. Kami tidak dendam, tapi kalau proses hukum itu terserah bagaimana negara mengatur," kata Murthala.

"Kami tidak lihat apakah dia mau jadi presiden, apakah dia mau jadi menteri. Jauh-jauh hari saya sudah mengatakan kami tidak dendam, tetapi (meminta) pengakuan yang sebenar-benarnya dihadapan publik, bagaimana hak-hak kami itu harus dipenuhi semua. Keadilan lebih penting," tambahnya.
Di sisi lain, para aktivis menilai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah solusi untuk penegakan hukum kasus kekerasan di Aceh. Diaman saat ini, DPR akan membentuk Kelompok Kerja Qanun KKR, dan berharap pembahasan tentang qanun itu akan selesai akhir tahun ini.

"Keinginan komunitas korban adalah pembentukan KKR. Masyarakat sudah membuat draf (rancangan) KKR sejak 2007, namun ada pertentangan UU pada waktu itu dan harus menunggu hingga UU KKR nasional jadi. Padahal UU Pemerintah Aceh (UU 11 Tahun 2006) sudah mengatur soal itu. Sekarang DPRA sudah membentuk Pokja dan ada perwakilan LSM HAM dan perempuan dalam tim perumus qanun KKR itu," jelas Destika Gilang