Kontras: Ini Empat Pemicu Kekerasan Tentara

Jakarta – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan setidaknya ada empat penyebab aparat TNI melakukan tindak kekerasan. Jika tak diatasi, keempat faktor itu akan terus membuat kasus-kasus kekerasan tentara berulang.

"Keempat faktor ini adalah (1) keberadaan TNI di tengah masyarakat, (2) sistem peradilan militer yang lemah, (3) kepolisian yang tidak sigap dan (4) kecemburuan TNI pada polisi," kata Koordinator Eksekutif KontraS, Haris Azhar, Senin 22 April 2013. 

Untuk faktor pertama, kata Haris, keberadaan aparat TNI di tengah masyarakat  memang kerap memicu pergesekan kepentingan. Jika tentara terlibat konflik, mereka cenderung menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar. Soalnya, aparat TNI memang  dilatih dan diberi kelengkapan untuk melawan musuh negara dengan menggunakan keahlian militernya.

"Motif utamanya main hakim sendiri," kata Haris. Dia menunjuk banyak kasus seperti di Ogan Komering Ulu dan di Cebongan, dimana tentara menjadi korban, namun kemudian membalas dengan pelanggaran hukum serius.

Faktor kedua, kata Haris, terkait dengan sistem peradilan militer yang sering memberi hukuman ringan. "Akibatnya, tidak memberi efek jera," kata Haris. Dari data Kontras, tidak ada satu pun anggota TNI yang jadi tersangka pelanggaran HAM misalnya, yang dihukum lebih dari satu tahun.

Faktor ketiga adalah lambannya kerja polisi. Ketika aparat TNI menjadi korban, pihak kepolisian tidak cepat menyelesaikan masalahnya. Hal ini membuat aparat TNI memilih main hakim sendiri. "Penembakan di LP Cebongan itu contohnya," kata Haris.

Yang membuat masalah makin parah, polisi akhirnya menyerahkan setiap kasus yang melibatkan TNI pada aparat polisi militer saja. Ini tentu tak menyelesaikan masalah. "Polisi takut TNI tidak puas dengan hasil kerja polisi," kata Haris.

"Faktor terakhir adalah kecemburuan TNI pada kepolisian," ujar Haris. Polisi saat ini, kata Haris, punya ruang bebas untuk bergerak di tengah masyarakat. Mereka sering menggunakan ruang itu untuk memperkaya diri sendiri. "Kasus Djoko Susilo misalnya menunjukkan bagaimana polisi bisa kaya raya," katanya.

Menurut Haris, agar siklus kekerasan ini berhenti, pimpinan TNI harus punya komitmen kuat. "Jika tidak, maka kekerasan ini akan terus menyebar," ujarnya.