Sejumlah LSM Desak Investigasi Kasus Penembakan di Sorong

Jakarta: Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dianggap antidemokrasi, karena melarang peringatan penyerahan Papua dari UNTEA pada 1963 ke Indonesia, Kamis (30/4) dan Rabu (1/5).

Beberapa LSM menilai apa yang terjadi pada saat yang juga bertepatan dengan hari buruh itu sudah melanggar UUD 1945 mengenai hak kebebasan berkumpul dan berekspresi.

"Pelarangan itu menunjukkan sikap reaksioner, paranoid, sekaligus diskriminatif pemerintah yang membatasi hak sipil dan politik rakyat Papua," jelas Koordinator Eksekutif KontraS Haris Azhar mewakili aliansi Prosolidaritas dan Solusi Damai Papua di Jakarta, Sabtu (4/5).

Akibat tindakan yang mengakibatkan dua orang sipil tewas itu, diharapkan ada investigasi menyeluruh dan segera mengadili pelaku penembakan. Pemerintah juga diharapkan untuk memberhentikan pendekatan represi dan stigmatisasi separatis terhadap rakyat Papua.

"Presiden Abdurahman Wahid pernah memberikan hak kepada rakyat Papua untuk mengibarkan bendera bintang Kejora sebagai ekspresi kebudayaan rakyat," kata KontraS lagi.

Seperti yang diketahui, di penghujung April lalu rencana kegiatan perayaan di Kabupaten Sorong, Papua, terpaksa batal karena dihentikan oleh aparat keamanan. Tindakan tersebut memicu kemarahan warga dan berujung kematian pada dua orang dan enam orang luka.

Beberapa organisasi selain KontraS, yaitu National Papua Solidarity, Sekber Buruh, Politik Rakyat, Perempuan Mahardhika, Formad, KPO-PRP, dan Yayasan Pusaka juga menuntut agar 1 Mei dijadikan momentum untuk meluruskan sejarah melalui dialog.