KEKERASAN DI PAPUA: Kapolri Didesak Hentikan Pelarangan Aksi Damai

JAKARTA–Kepala Polri Jendral Timur Pradopo didesak untuk menghentikan segala bentuk pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM)  Papua terkait dengan peristiwa kekerasan pada 1 Mei dan 13 Mei 2013.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan National Papua Solidarity (Napas) aksi damai yang dilakukan pada 13 Mei, justru direspon oleh para polisi dengan tindakan militeristik.

Aksi damai itu sebenarnya merupakan upaya protes terhadap dugaan penembakan yang menyebabkan tewasnya tiga orang warga serta dilakukannya penangkapan di Sorong, Biak, Mimika dan Jayapura.

"Empat orang ditangkap, seorang diantaranya adalah Markus Giban , mengalami penganiayaan berat, dipukul dengan popor senjata hingga tangan kirinya patah dan kini sedang dirawat di rumah Sakit RSUD Abepura," demikian pernyataan bersama Kontras dan Napas di Jakarta, Rabu, (15/5/2013). "Mendesak Kapolri untuk segera menghentikan pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis HAM dan mahasiswa."

Kedua organisasi itu memaparkan fakta menunjukkan bahwa pembatasan seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Papua, tetapi sudah menjadi tradisi kepolisian Papua. Hal tersebut, papar mereka, menandakan bahwa ruang demokrasi di Papua berada di titik nol.

Kedua organisasi itu menilai realitas demokrasi semacam ini menjadi langkah mundur dari 15 tahun reformasi di Indonesia. "Reformasi di Indonesia belum maju jika ruang demokrasi di Papua masih tertutup. Sebab Papua saat ini adalah wajah demokrasi Indonesia, sekaligus wajah pemerintah Indonesia," demikian Kontras dan Napas.

Selain itu, kedua organisasi itu mendesak agar pemerintah Indonesia khususnya Menteri Luar Negeri, dapat memberikan akses masuk pada pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap situasi di Papua, termasuk diantaranya akses pers dalam dan luar negeri.