15 tahun berlalu, Bu Sumarsih masih berharap, pelaku pembunuhan anaknya diadili

Selama 15 tahun, Maria Catarina Sumarsih menunggu keadilan bagi anaknya yang dibunuh. Dan selama lebih dari enam tahun, setiap hari Kamis, Bu Sumarsih ? sapaanya –  berdiri di seberang Istana Presiden di Jakarta menuntut agar ‘otak pembunuhan’ anaknya dibawa ke meja hijau. Tetapi, hingga kini perjuangannya belum juga berhasil.

Pada November 1998, enam bulan setelah 4 demonstran ditembak dan dibunuh oleh militer di Jakarta dalam peristiwa yang disebut Tragedi Trisaksi, 18 mahasiwa dari beberapa universitas ditembak, termasuk mahasiswa dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dalam peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II.

Bernardus Realino Norma Irmawan yang disapa Wawan adalah salah satu mahasiswa Atma Jaya yang ikut ditembak setelah ia terlibat dalam aksi protes terhadap sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dianggap inkonstitusional, serta mendesak pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan kala itu.

“Melalui microfon, ia meminta izin dari seorang perwira militer untuk mengangkat mayat temannya. Setelah izin diberikan, Wawan mengangkat bendera putih sebagai tanda untuk memberi bantuan”, kata Bu Sumarsih kepada ucanews.com, Kamis pertengahan Mei lalu. “Namun, dia tiba-tiba ditembak”.

Hasil otopsi menunjukkan, Wawan tewas setelah terkena peluru standar militer. Pasca kematian anaknya, ia hanya berdiam di rumah dan berdoa Rosario, sesuai keyakinannya sebagai orang Katolik.

“Saya selalu menangis. Selama 3 bulan saya hanya duduk dan jarang makan. Kalau lapar saya minum air putih setengah cangkir sudah kenyang,” katanya.

Puluhan personel militer berpangkat rendah sudah dinyatakan bersalah atas sejumlah tragedi penembakan dalam masa transisi dari Orde Baru menuju era reformasi itu.  Namun, yang dituntut Bu Sumarsih dan keluarga korban lainnya lebih dari itu.

”Pimpinan militer yang saat itu bertindak sebagai pembuat keputusan harus diadili,” katanya.

Pada tahun 2000, DPR membentuk pantia khusus untuk menyelidiki kasus ini. Namun setahun kemudian, kesimpulan penyelidikan mereka menyebutkan, tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi tersebut.

Didorong oleh niat untuk terus memperjuangkan keadilan, Bu Sumarsih dan keluarga korban lainnya mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan investigasi. Laporan Komnas HAM pun sampai pada hasil yang berlawanan dengan kesimpulan panitia khusus DPR: pelanggaran HAM berat telah terjadi, demikian laporan Komnas HAM.

Namun, ketika temuan tersebut diajukan kepada Kejaksaan Agung, tidak ada tindak lanjut.

Hal itulah yang mendorong Bu Sumarsih memutuskan untuk memulai aksi diam di depan istana. Pada Kamis, 18 Januari 2007, ia dan anggota keluarga korban lain mengenakan pakaian hitam dan memegang payung hitam bertuliskan berbagai slogan berdiri berjejer di seberang istana presiden

Aksi diam terus mereka lakukan sejak saat itu dan sedikit membawa hasil.

Tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengundang Bu Sumarsih dan anggota keluarga korban lainnya dalam sebuah pertemuan di mana SBY berjanji membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku.

Kemudian pada tahun 2011, mereka bertemu dengan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

“Dia membuat janji-janji yang sama seperti presiden,” kata Sumarsih. ”Tetapi pengadilan tidak pernah ditetapkan”.

Tahun lalu, Albert Hasibuan, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM,  mengadakan pertemuan juga dengan mereka di mana ia mengatakan adanya komitmen pemerintah untuk mencari keadilan. Hasibuan menyarankan permintaan maaf oleh presiden sebagai solusi yang baik.

“Saya menolak,” kata Sumarsih. “Mereka yang melanggar HAM  harus dihukum. Permintaan maaf tidak cukup”.

Sejauh ini, tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil oleh pemerintah. Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari partai oposisi PDI Perjuangan mengatakan, ia ragu apakah pemerintah bisa mengambil terobosan untuk menyelesaikan kasus yang ada..

“Ini berkaitan dengan komitmen penegakan HAM pemerintah saat ini yang lemah. Rekomendasi Komnas HAM tidak ada yang ditindaklanjuti. Presiden tidak mementingkan penyelesaian kasus-kasus HAM. Terbukti dalam 10 tahun pemerintahannya, tidak ada satu pun yang diselesaikan”, kata Sundari.

Sementara itu, Haris Azhar, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan, semenjak reformasi hingga kini, SBY merupakan pemimpin Indonesia yang paling lama berkuasa tetapi tidak ada kontribusi yang diberikannya terhadap agenda-agenda reformasi, termasuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.

“Kemandegan penyelesaian kasus-kasus ini juga dikarenakan lemahnya kontrol yang diberikan DPR terhadap pemerintah yang berkuasa”, jelasnya.

Bu Sumarsih mengatakan, bersama dengan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu lainnya, ia kan terus datang ke istana setiap hari kamis. Aksi mereka yang dikenal sebagai Aksi Kamisan, hingga akhir Mei tahun ini, sudah berlangsung untuk yang ke-307 kali.

“Jujur, saya merasa lelah,” katanya. “[Tapi] saya akan selalu berdiri di sini sampai tuntutan kami benar-benar terpenuhi. Kita tidak bisa membiarkan pembunuh berjalan bebas. ”

Ia mengaku, keteguhannya untuk berjuang didorong oleh rasa cinta kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

“Dukacita saya atas kematian Wawan telah bertranformasi menjadi keteguhan untuk mencintai sesama manusia”, ungkap penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2004 ini atas konsistensi dan komitmennya untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Ryan Dagur, Jakarta