Kontras: Pidana Mati Belum Cocok di Indonesia

Koordinator Eksekutif Nasional Kontras, Haris Azhar, menilai, hukuman mati masih belum cocok diterapkan di Indonesia. Pasalnya, kinerja para penegak hukum di Indonesia masih buruk sehingga berpotensi mengeluarkan hukuman yang tidak adil.

"Kenapa kita harus menolak hukuman mati? Karena kinerja dan integritas penegakan hukum masih buruk, mereka berpotensi mengeluarkan hukuman buruk pula," ujarnya di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (13/6/2013).

Haris mengatakan, masih banyak penyelesaian kasus yang tidak adil. Masih banyak pula rekayasa kasus, termasuk terkait kasus Ruben Pata Sambo dan anaknya, Markus Pata Sambo. Ruben dan Markus dipaksa mengaku telah membunuh pasangan suami-istri di Tana Toraja pada 23 Desember 2005. Akhirnya, ayah dan anak itu divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Makale, Tana Toraja. Dugaan rekayasa ini terbukti setelah polisi berhasil menangkap empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

Pada tanggal 30 November 2006, keempat tersangka itu, yakni Yulianus Maraya (24), Juni (19), Petrus Ta’dan (17), dan Agustinus Sambo (22) telah membuat surat pernyataan bermeterai bahwa Ruben dan Markus bukanlah pelaku ataupun otak pembunuhan yang sesungguhnya. Meski demikian, hal tersebut tidak juga membebaskan Ruben dan Markus dari penjara dan vonis hukuman mati tersebut.

Terlebih lagi, pada tahun 2008, mereka pernah berupaya mengajukan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung. Namun, PK tersebut ditolak oleh para hakim agung yang terdiri dari Hatta Ali, Dirwoto, dan Djafri Djamal. Alasannya, tak ada bukti baru yang diajukan.

Untuk itu, Haris menilai bahwa hukuman mati belum cocok untuk diterapkan di Indonesia. "Kalau dia dihukum mati kan tidak dapat dikoreksi. Dengan mati, dia tidak bisa memberikan keterangan, sedangkan belum tentu dia itu bersalah," kata Haris.

Haris juga mengatakan bahwa peringkat peradilan Indonesia sangat buruk. Indonesia berada di luar 50 besar dunia yang memiliki peraturan peradilan yang baik.