Pengesahan RUU Pilkada: Demokrasi Kembali ke Titik Nol!

Pengesahan RUU Pilkada: Demokrasi Kembali ke Titik Nol!

Kemunduran terhadap demokrasi yang selama ini telah terbangun di Indonesia kembali terjadi setelah dini hari tadi (26/09), Ketua DPR RI akhirnya mengesahkan RUU PILKADA [Pemilihan Kepala Daerah], memutuskan PILKADA kembali dipilih oleh DPRD. Dari total 361 suara, opsi PILKADA langsung hanya memperoleh 135 suara, sedangkan 226 suara mendukung PILKADA melalui DPRD.

KontraS menyatakan bahwa keputusan publik yang telah dilakukan oleh penjahat-penjahat politik Senayan tidak bisa mendapatkan justifikasi dari segi demokrasi, penegakan hukum, dan hak asasi manusia.

Pertama, DPR RI yang mencerminkan kemajuan institusi demokrasi di Indonesia, justru secara sistematis menggunakan legitimasinya untuk membatasi hak-hak partisipasi politik dari setiap warga negara Indonesia untuk berpartisipasi dalam arena demokrasi.

Kedua, ‘partisipasi politik’ yang telah dipraktikkan pasca otoritarianisme Orde Baru, hanya dimaknai dengan pendekatan sempit melalui ruang komunikasi institusional legislatif (baca: DPRD), yang nyata-nyata kerap melakukan politik transaksional dalam wujud aneka rupa. Tren kembalinya semangat kekuatan otoritarian yang dimanifestasikan melalui pengesahan RUU Pilkada akan menjadi ladang subur tidak hanya elit, namun mereka yang masih merindukan stabilitas politik ala Soehartoisme.

Ketiga, proses demokrasi dan politik yang efektif seharusnya tidak dapat dipertentangkan dengan semangat perlindungan dan penghormatan atas HAM. Hak untuk berpartisipasi dalam politik dijamin tidak hanya di dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 25), di mana Indonesia pelaku ratifikasi tersebut (UU No. 12/2005); namun juga di banyak perjanjian Internasional yang menjamin hak serupa. Adalah mutlak untuk menjamin proses politik berlangsung tanpa diskriminasi, melibatkan seluruh warga negara Indonesia dalam sektor-sektor kebijakan publik, khususnya dalam menentukan figur-figur politik yang bersih dari kasus HAM, korupsi, pengrusakan lingkungan, kekerasan minoritas, masyarakat adat, gender, dan lain sebagainya.

Sebagai perbandingan, dalam proses suksesi politik di Meksiko (1980) yang tidak merepresentasikan hak suara rakyat akibat sengketa kepentingan politik, the Inter-American Court of Human Rights mengeluarkan pendapat bahwa, negara-negara demokratik tidak dapat melakukan “disproportionate presence of the government” dalam penentuan urusan-urusan publik, termasuk dalam proses politik pemilu (1990). Bahkan sebelumnya, Komisi ini menyatakan bahwa jaminan hak berpartisipasi dalam politik adalah mutlak sebagai wujud representasi keterlibatan setiap individu warga negara untuk mengurangi monopoli kekuatan politik elit (Inter-American Court of Human Rights, 1982)

Oleh karena itu, KontraS menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk kembali melakukan desakan publik, terlibat menjadi penggugat untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada melalui mekanisme-mekanisme hukum yang dapat ditempuh. KontraS mengajak seluruh pegiat HAM, demokrasi, dan penegakan supremasi hukum untuk duduk bersama, menggagas gugatan hukum melalui uji materiil UU Pilkada yang bisa diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam tempo singkat. Siapkan kartu identitas dan kirim nama beserta nomor telepon anda ke 082217770002. Lawan penjahat politik!

Salam demokrasi!
Jakarta, 26 September 2014

 

Haris Azhar, SH, MA
Koordinator KontraS