Berikan Amnesti dan Abolisi ke Papua dan Maluku

Berikan Amnesti dan Abolisi ke Papua dan Maluku

JAYAPURA, 9 Mei 2015 –Presiden Joko Widodo mengambil langkah baik dengan memenuhi permohonan grasi dari lima narapidana politik Papua namun pemerintah seharusnya juga memberi amnesti dan abolisi kepada lebih dari 60 narapidana dan tahanan politik lain, Papua maupun Maluku, menurut beberapa organisasi hak asasi manusia di Ambon, Jakarta dan Papua.

"Kelima narapidana tersebut berhak untuk bebas. Mereka sudah 12 tahun dipenjara, sakit-sakitan dengan perlakuan buruk dalam tahanan militer, polisi maupun penjara," kata Olga Hamadi dari Kontras Papua. "Namun grasi saja tak memadai. Ada puluhan tahanan politik Papua, yang seharusnya diberi amnesti maupun abolisi."

Seruan tersebut dikeluarkan serentak di Ambon, Jayapura dan Jakarta serta didukung oleh beberapa organisasi, termasuk Aliansi Demokrasi untuk Papua (Jayapura), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua (Jayapura), Kontras (Jakarta dan Jayapura), Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (Manokwari), Tempat Advokasi Masyarakat Silpil Maluku (Ambon) serta Yayasan Pantau (Jakarta).

Presiden Widodo hari ini di penjara Abepura memberikan grasi kepada lima narapidana politik Papua, yang terlibat dalam apa yang disebut kasus pembobolan gudang senjata kodim Wamena, 4 April 2003. Mereka termasuk Apotnalogolik Lokobal (20 tahun penjara di Biak), Numbungga Telenggen (seumur hidup di Biak), Kimanus Wenda (19 tahun di Nabire), Linus Hiluka (19 tahun di Nabire) dan Jefrai Murib (seumur hidup di penjara Abepura).

"Sebelum menyerahkan mereka ke keluarga masing-masing, pemerintah perlu memeriksakan kelima orang tersebut ke rumah sakit. Mereka punya masalah kesehatan. Kimanus Wenda punya tumor di perut. Jefrai Murib terkena stroke dan setiap minggu harus terapi," kata Latifah Anum Siregar dari ALDP Jayapura. Siregar juga pengacara kelima narapidana tersebut.

Persoalan narapidana dan tahanan politik sudah lama dipersoalkan organisasi nasional maupun internasional. Sejak awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pendahulu Presiden Widodo, organisasi-organisasi ini setiap tahun minta pemerintah Indonesia membebaskan orang-orang yang dipenjara karena menyampaikan aspirasi politik secara damai.

Pada November 2011, UN Working Group on Abritrary Detention di New York menyatakan bahwa Filep Karma, narapidana politik di Abepura, tak mendapatkan pengadilan yang berat sebelah (fair trial). Mereka menyatakan pengadilan Indonesia, yang menghukumnya 15 tahun penjara pada 2005, menafsirkan pasal-pasal makar (KUHP 106 dan 110) dengan "tak proporsional."Mereka minta Indonesia "sesegera mungkin dan tanpa syarat" membebaskan Filep Karma.

Namun pemerintahan Yudhoyono tak mengindahkan keputusan mahkamah PBB dengan beralasan tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Mereka mengatakan Indonesia hanya ada "tahanan kriminal." Alasan tersebut bersembunyi di balik kata "tahanan politik." Pemerintahan Yudhoyono pura-pura tak tahu bahwa secara internasional, mereka yang disebut tahanan politik adalah orang yang dihukum karena kegiatan politik secara damai.

Pada September 2012, saat diselenggarakan Universal Periodic Review terhadap Indonesia di Geneva, belasan negara –termasuk Amerika Serikat, Argentina, Korea Selatan, Jepang, Jerman, dan Mexico– mempertanyakan keberadaan tahanan politik di Indonesia. Mereka minta Indonesia membebaskan tahanan politik namun pemerintahan Yudhoyono menolak mengikuti rekomendasi tersebut dengan pura-pura tak tahu ada substansi kata tersebut.

"Orang Papua dan Maluku sering bikin aksi damai, protes soal ketidakadilan, kadang dengan bendera Bintang Kejora atau Republik Maluku Selatan. Ia harus dilihat sebagai kebebasan berekspresi yang dilindungi hukum. Namun mereka ditangkap, dituduh makar, sering disiksa, dipenjara bahkan sampai 20 tahun. Presiden Jokowi harus berikan amnesti," kata Semuel Waileruny dari Tempat Advokasi Masyarakat Silpil Maluku.

UUD 1945 pasal 14 menyebut bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden juga memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Amnesti adalah penghapusan akibat hukum dari suatu tindakan pidana.Abolisi berarti penghapusan atau peniadaan tuntutan pidana. Pasal 4 UU No. 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Untuk pemberian abolisi, penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.

Menurut beberapa organisasi hak asasi manusia tersebut ada sekitar 60 orang mendekam di penjara dan rumah tahanan di Indonesia:

– Ada 29 narapidana RMS dipenjara di Ambon, Porong, Madiun, serta Kembang Kuning dan Batu (Nusa Kambangan) dengan vonis sudah berketetapan hukum tetap. Mereka seharusnya diberikan amnesti.

– Salah seorang dari narapidana RMS adalah termasuk Ruben Saiya, kini dipenjara di Kembang Kuning, Nusa Kambangan, dengan vonis 20 tahun, karena menari cakalele dengan bendera RMS pada 29 Juni 2007 di stadion Ambon.

Para narapidana RMS yang diperjuangkan untuk memperoleh amnesti, semuanya melakukan kegiatan pro-kemerdekaan RMS dengan cara damai tanpa kekerasan. Mereka biasanya menarik, menyanyi atau beribadah. Semuanya dihukum dengan pidana makar.

– Ada setidaknya 38 narapidana politik Papua di tujuh penjara pada Maret 2015, menurut Papuans Behind Bars, sebuah website khusus keluar dan masuknya orang-orang dengan perkara politik di Papua. Mereka ditahan di penjara Abepura; Biak, Doyo Baru (Sentani); Nabire; Sorong; Timika, dan Wamena. Ini termasuk kelima orang yang diberikan grasi hari ini.

– Di penjara Abepura, Filep Karma ditahan sejak 1 Desember 2004 ketika dia memperingati deklarasi bangsa Papua 1961 dengan pidato soal makin terpinggirkan masyarakat asli Papua sejak Indonesia resmi integrasi Nieuw Guinea pada 1969. Sejak dipenjara, Filep Karma terusmenolak remisi (berkat kelakuan baik). Dia sekali menolak minta grasi. Dia berpendapat grasi tersirat berarti mengakui bersalah.

– Tahanan politik Papua termasuk Areki Wanimbo, kepala suku Lanny Jaya, yang ditahan di Wamena sesudah menjadi nara sumber dua wartawan Perancis pada 6 Agustus 2014. Namun pengadilan negeri Wamena menyatakan Wanimbo tak bersalah pada 8 Mei 2015. Dia dapat vonis bebas.

Meki Elosak dan Wiki Meaga dipenjara di Wamena sejak 10 November 2010 karena hendak menaikkan bendera Bintang Kejora sebagai protes dalam prosesi pemakaman. Teman mereka disiksa polisi, jatuh sakit dan meninggal dunia. Elosak dan Meaga dihukum delapan tahun penjara.

– Ada beberapa narapidana Papua yang diduga terlibat kekerasan. Kebanyakan dari mereka mendapat siksaan dalam tahanan serta tak mendapatkan proses hukum yang tak berat sebelah. Ini termasuk dua dari kelima narapidana dalam kasus pembobolan gudang senjata di Wamena pada 4 April 2003.

– Namun penembakan terhadap tiga guru Freeport pada 2002 oleh Antonius Wamang, kini di penjara Cipinang dengan vonis seumur hidup, relatif berjalan dengan pengadilan yang tak berat sebelah di Jakarta 2006. Persoalannya, ada saksi mengatakan 11 tentara Indonesia juga terlibat dalam penembakan. Menurut Pusat Laboratorium Forensik Polri, ditemukan total 208 peluru, selongsong dan pecahan peluru di lokasi penembakan. Wamang tak memiliki peluru sebanyak itu. Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat perlu meneruskan investigasi terhadap kasus dimana dua warga negara Amerika Serikat terbunuh.

Berbagai organisasi hak asasi manusia tersebut minta para narapidana yang terlibat kekerasan, namun proses pemeriksaan dan peradilan diragukan, untuk ditinjau ulang proses hukum terhadap mereka. Mereka juga minta pemerintahan Joko Widodo meninjau Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007 yang melarang penggunaan bendera Gerakan Aceh Merdeka, Papua Merdeka maupun Republik Maluku Selatan.

"Suatu bangsa bisa merdeka bila ia disetujui sedikitnya dua per tiga dari seluruh anggota PBB. Artinya, dari total 197 negara, perlu 130 negara buat bikin Aceh, Maluku Selatan atau Papua bisa merdeka. Saya kira urusan naik bendera tak lantas mengubah pandangan 130 negara. Ia bagian dari kebebasan berekspresi," kata Imam Shofwan dari Yayasan Pantau.

Peneas Lokbere dari Bersatu untuk Kebenaran minta Presiden Jokowi bukan saja membebaskan para tahanan politik, Maluku maupun Papua, namun juga memberikan rehabilitasi kepada mereka. Banyak dari mereka memerlukan pengobatan akibat siksaan serta penjara berkepanjangan. "Presiden Jokowi bisa mengundang Al Jazeera, Straits Times, Agence France Presser, tanpa mereka lewat clearing house di Kementerian Luar Negeri. Ini kuat sekali kesan pencitraan. Dia seharusnya juga kasih rehabilitasi," kata Lokbere.

"Sejak Papua diintegrasikan 1 Mei 1963, pelanggaran hak orang asli Papua juga dimulai, termasuk pembatasan masuknya jurnalis dan pekerja kemanusiaan internasional. Ini berjalan sudah 50 tahun, sebuah ketidakadilan dalam demokrasi, ia seharusnya dihentikan oleh Presiden Jokowi," kata Yan Christian Warinussy dari LP3BH Manokwari.

Demikian, atas kerjasamanya diucapkan trima kasih!
Jayapura, 09 Mei 2015


Kelompok Pegiatan HAM Papua
Informasi lebih lanjut di Jayapura dan Manokwari:
Anum Siregar: Aliansi Demokrasi Papua aldp.papua@gmail.com mobile0852-44060000
Gustaf Kawer: Pengacara beberapa tapol Papua gustaf_lawyer@yahoo.com.au mobile 0822-39342759
Olga Hamadi: Kontras Papua email olgahamadi@gmail.com mobile 0822-39428382
Peneas Lokbere: Bersatu untuk Kebenaran penlok76buk.papua@gmail.com mobile 0821-99360292
Yan Christian Warinussy (Manokwari): LP3BH officelp3bh.manokwari@gmail.com mobile 0812-80401888

Khusus buat Jakarta:
Haris Azhar: Kontras Jakarta email harisazhar@kontras.org mobile 0812-247960198

Khusus buat Ambon:
Semuel Waileruny: Tamasu semuelwaileruny@gmail.com mobile 0813-43020530