Peringatan Hari Bhayangkara Polri ke-69
Polri, Mari Yuk Benahi Akuntabilitas Internal!

Pernyataan Sikap:
Peringatan Hari Bhayangkara Polri ke-69
Polri, Mari Yuk Benahi Akuntabilitas Internal!

 

Sehubungan dengan Hari Bhayangkara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ke-69, KontraS bermaksud menyampaikan sejumah catatan dan tantangan bagi Polri, Kepemimpinan baru paska politisasi Polri dan bagi masyarakat umum. 

Dalam setahun terakhir, Dari data pemantauan KontraS (2014-2015) tercatat masih terdapat 554 rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Polri. Di mana dari hasil pemantauan ini KontraS menemukan bahwa 1 peristiwa bisa terdiri dari beberapa tindakan kejahatan/pelanggaran HAM. Adapun tindakan yang dominan dilakukan oleh aparat Polri adalah penembakan sewenang-wenang (272 peristiwa) dengan menimbulkan 299 korban jiwa. Selain itu, pola tindakan pelanggaran HAM yang mendapat sorotan serius adalah tindakan penyiksaan, di mana sepanjang bulan Juni 2014 hingga Juni 2015 terdapat 84 kasus penyiksaan yang telah dilakukan aparat Polri, dengan minimnya penanganan (lih: Laporan Anti Penyiksaan KontraS 2015). 

Peraturan Kapolri HAM (2009), memberikan tekanan bagi Polri untuk berbenah dan mengoptimalkan kinerja Polri dari sisi HAM. Namun demikian, upaya mendorong pembenahan kinerja dan akuntabilitas Polri masih lambat dan suram. Modalitas yang telah diberikan untuk membawa perubahan akuntabilitas ke dalam institusi kepolisian guna mengubah watak, kultur dan pola pendekatan penegakan hukum kepada masyarakat; juga belum berhasil meredam beberapa tindakan penyalahgunaan wewenang yang serius yang telah dilakukan aparat Polri. 

Dari Pengalaman KontraS mendapingi kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh KontraS patut digarisbawahi 3 kasus pelanggaran HAM yang harus mendapatkan perhatian serius, terutama oleh Polri, dan juga lainnya seperti pengampu kebijakan dan publik. Pertama, kasus salah tangkap yang disertai dengan anak dibawah umur yang salah satunya dilakukan oleh anggota Polri di Samarinda. Ramadan Suhudin (16 tahun) telah mengalami penyiksaan hingga tewas dalam proses penyidikan oleh anggota Opsonal Jatanras Polres Samarinda akibat tuduhan curanmor, padahal korban tidak mengetahui mengenai peristiwa tersebut. Kedua, pada kasus FA (13 tahun) yang mengalami penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan oleh anggota Polsek Widang, Tuban. Ketiga, Yusman Telaumbanua yang telah divonis mati ketika umurnya masih 16 tahun yang tentu saja melanggar hukum dan hak asasi manusia. Rekayasa kasus telah terjadi kepada dirinya dimulai dari pemalsuan umur Yusman ketika vonis mati jatuh pada dirinya ketika berumur 16 tahun dan diubah menjadi 19 tahun. Dalam proses hukumnya, Yusman telah mengalami beberapa tindak penyiksaan yang terlihat dari bekas luka yang ada pada tubuhnya. 

Pola-pola yang digunakan oleh anggota Polri membuktikan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian masih bersifat acak dan tanpa disertai dengan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap korban. Tuduhan difokuskan hanya berdasarkan pengakuan tersangka yang berada di bawah tekanan, termasuk kepada anak di bawah umur, tanpa didukung oleh bukti lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa polisi masih memprioritaskan metode kekerasan dalam proses hukum, lebih parahnya lagi kebanyakan dari kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polisi dalam proses peradilan tidak mendapatkan peradilan yang adil. Sebagian besar pelaku kekerasan hanya mendapatkan sanksi administratif sehingga dapat memperpanjang rantai impunitas di Indonesia. Melalui beberapa fakta yang ada menunjukkan bahwa Polisi masih menunjukkan akuntabilitas yang lemah dalam menjalankan mandatnya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, terlebih lagi dalam menjalankan mandatnya untuk mengikutsertakan nilai-nilai hak asasi manusia pada proses hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Perkap HAM. 

KontraS melihat ruang pengawasan yang tidak optimal dilakukan baik di dalam institusi kepolisian, melalui medium Profesi dan Pengamanan (Propam), maupun institusi eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM. Ketidakmandirian Kompolnas sebagaimana yang dilihat pada proses suksesi Kapolri 2015 dengan memaksakan nama Komjen (Pol) Budi Waseso pada putaran pemilihan Calon Kapolri 2015 di mana Waseso telah melakukan penangkapan sewenang-wenang pada kasus penangkapan Bambang Widjajanto (Lih: kasus KPK v. Polri) dan irisan dengan semakin politisnya Polri dengan kedekatan beberapa nama petinggi jenderal pada partai politik yang berkuasa hari ini (Lih: relasi Budi Gunawan dengan PDIP). 

Ke depan, akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi Polri. Utamanya dalam membangun reputasi kelembagaan dan memulihkan rasa kepercayaan publik akan sangat bertumpu pada seberapa jauh akuntabilitas internal bisa diwujudkan dari hulu ke hilir. Untuk itu, KontraS akan memberikan proyeksi, semacam rambu-rambu yang diharapkan bisa membantu progresivitas Polri untuk menjadi institusi keamanan terdepan dan bisa diandalkan. 

1. Polri akan menghadapi tahun politik pasca 2014, ketika Pemilukada akan diberlangsungkan serentak ditahun Desember 2015, 2016 dan 2017. Tantangannya adalah bagaimana Polri bisa memastikan bahwa suksesi politik lokal tidak akan dipenuhi dengan praktik kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non-negara. 

2. Pembenahan akuntabilitas internal adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan Polri. Hadirnya banyak Peraturan Kapolri yang mengatur tugas pokok dan fungsi anggota Polri yang begitu luas harus mendapatkan ruang evaluasi optimal. Dalam hal ini Propam Lembaga Pendidikan Kepolisian (Lemdikpol) adalah kunci penting untuk memastikan bahwa Polri memiliki personel yang profesional dan handal untuk menjalankan tugas. 

3. Polri harus pula mengevaluasi model sanksi administratif (etik internal) yang kerap dijadikan medan impunitas oleh para pelaku berlatar belakang institusi ini. Ruang etik internal harus bisa memastikan bahwa ada mekanisme yang bisa ditempuh secara transparan oleh para korban untuk mencari keadilan. 

4. Terkait dengan agenda bisnis dan keamanan, terdapat tren yang cenderung menguat bahwa Polri masih terlibat pada agenda beking perusahaan-perusahaan untuk jasa keamanan. KontraS menilai bahwa ruang evaluasi harus bisa dihadirkan efektif, utamanya menggunakan mekanisme vetting sebagai alat ukur untuk setiap personel Polri yang terlibat pada kejahatan pidana dan pelanggaran HAM. 

5. Penguatan mekanisme pengawasan juga menjadi tulang punggung peningkatan kualitas institusi Polri. Segala rekomendasi yang diberikan baik oleh Kompolnas, ORI, Komnas HAM, LPSK harus ditindaklanjuti dengan transparansi. 

Jakarta, 1 Juli 2015
Badan Pekerja, 

 

Haris Azhar, MA
Koordinator