Pemutakhiran Situasi Keamanan Indonesia: Mempertanyakan Wacana Amnesti Din Minimi Hingga Operasi Camar Maleo-Tinombala Yang Tidak Boleh Mengulangi Sintuwu Maroso Di Poso

Pemutakhiran Situasi Keamanan Indonesia

Mempertanyakan Wacana Amnesti Din Minimi Hingga Operasi Camar Maleo–Tinombala Yang Tidak Boleh Mengulangi Sintuwu Maroso Di Poso

Hari ini, 10 Januari 2016, jika tidak mengalami pengunduran maka Pemerintah Indonesia akan melanjutkan operasi penegakan keamanan dengan judul baru yakni Tinombala, pasca 4 kali berturut-turut operasi keamanan dengan nama sandi Camar Maleo digelar di Poso sepanjang tahun 2015.

Tidak mudah untuk mendapatkan informasi yang valid dan kredibel mengapa sejak tahun 2011 hingga kini jaringan Santoso cs sulit dibekuk oleh tim elite anti teror Indonesia. Namun tidak sedikit pula laporan publik yang KontraS terima sepanjang setahun terakhir terkait dengan adanya penurunan jaminan rasa aman di Poso dan sekitarnya. Penurunan kualitas kehidupan publik Poso amat terkait dengan peningkatan operasi keamanan secara intensif, dengan pendekatan sekuritisasi tanpa disertai pengawasan dan janji evaluasi yang tidak dipatuhi baik oleh Polri dan TNI.

Sepanjang tahun 2015, KontraS setidaknya telah memantau tidak kurang dari 30 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi sepanjang penyelenggaraan Camar Maleo I hingga IV. Korban dari warga mencapai 58 orang (dengan varian kekerasan yang dialami berbeda-beda), sedangkan 11 orang aparat menderita luka-luka. Adapun temuan rincian sebagai berikut:

  1. Sepanjang 12 bulan operasi, setidaknya 6 orang  warga sipil terluka. 26 orang tewas dan telah terjadi praktik penangkapan sewenang-wenang kepada 37 orang dalam proses penangkapan maupun penembakan (kontak senjata) dengan kelompok Santoso.
  2. Tidak kurang dari 16 tindakan penembakan yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang jelas. Diikuti dengan 12 proses penangkapan di luar prosedur.
  3. Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Januari, dengan jumlah 8 peristiwa dan korban tewas mencapai 7 orang, disertai penangkapan 6 orang terduga teroris kelompok Santoso. Belum diketahui proses hukum apa yang akan ditempuh.
  4. Pada 10 Januari dan 3 Juni 2015 Densus 88 melakukan penangkapan terhadap 4 warga sipil dan 5 mahasiswa di Poso namun tidak ada bukti kuat untuk membuktikan bahwa ke-9 orang tersebut terlibat dalam kelompok Santoso cs sehingga kuat dugaan praktik salah tangkap dilakukan oleh Densus 88.
  5. Penangkapan terbanyak terjadi pada bulan Maret sebanyak 21 orang. Tanggal 15 April 2015, baku tembak diketahui terjadi dengan 10 anggota teroris Santoso dan Daeng Koro yang diduga sebagai kaki tangan kelompok Santoso, Daeng ditemukan tewas akibat penembakan. Dalam operasi ini pun turut merenggut nyawa aparat saat kontak senjata dengan santoso dengan jumlah 11 orang aparat.
  6. Kasus pembunuhan terbanyak terjadi pada bulan September 2015 yang diduga dilakukan kelompok Santoso, menewaskan 1 aparat dan 7 warga sipil. Peristiwa terakhir terjadi sepanjang november 2015, yang menewaskan serka Zainuddin saat kontak senjata di Dusun Gayatri, sebelumnya terjadi penembakan di Kabupaten Moutong menewaskan 1 orang saat penangkapan namun hingga kini polisi enggan mengungkap identitas korban.

Dengan catatan KontraS di atas, meski Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti menyatakan bahwa setelah operasi Camar Maleo berakhir ditanggal 9 Januari 2016 evaluasi keamanan akan ditempuh sebelum mengambil keputusan. Namun sebelum hasil evaluasi keluar, KontraS mengetahui sudah ada gerak pasukan TNI –baik yang bertahan maupun yang didatangkan dari provinsi sekitar seperti Makassar dan Pulau Jawa- untuk melanjutkan operasi keamanan di Poso.

Sebagaimana 2 pernyataan sikap yang telah KontraS sampaikan ditahun 2015 bahwa operasi penegakan keamanan semacam ini memiliki kecenderungan yang tidak membuka ruang pengawasan ketat. Terbukti dengan minimnya pernyataan yang dikeluarkan baik oleh Komisi I dan III DPR RI yang memiliki akses untuk memanggil Kapolri dan Panglima TNI dalam prosedur evaluasi. Operasi keamanan semacam ini juga minim ruang pemantauan publik. Dari temuan KontraS diketahui bahwa ada tindakan teror dan intimidasi yang dilakukan oleh tim gabungan TNI/Polri untuk membatasi ruang gerak dan informasi para jurnalis dalam mengabarkan situasi dari lapangan. Konsekuensinya adalah tidak banyak tindakan-tindakan yang apabila diambil di luar prosedur bisa terpantau dengan baik.

Pemerintah Daerah di Poso juga tidak pernah dilibatkan secara strategis. Dari hasil pemantauan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso dapat diketahui bahwa Pemda setempat tidak lebih dari tim penyambut tim, tidak pernah dilibatkan dalam evaluasi lapangan, terlebih apabila jika ada keluhan dan pengaduan yang ingin disampaikan warga, Pemda Poso belum hadir secara strategis. Selain itu, KontraS juga belum melihat adanya pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM atas penyelenggaraan operasi keamanan di Poso sepanjang tahun 2015. Padahal, pemantauan dan ruang pengaduan yang harus disediakan Komnas HAM kepada warga Poso yang potensial dibatasi hak-hak asasinya maupun jika ada dugaan praktik pelanggaran HAM di Poso harus tersedia. KontraS sekali lagi mengingatkan bahwa Poso masih kerap dijadikan arena tempat di mana panggung keamanan yang digelar baik oleh Polri dan TNI yang mulanya diperuntukkan untuk menjamin rasa aman warga kemudian bisa berubah haluan menjadi tempat di mana kekerasan terus dipelihara, tanpa diikuti dengan ruang pertanggungjawaban dan ganti rugi (pemulihan) apabila ada hak-hak asasi warga yang dijamin secara konstitusional terlanggar. Kondisi ini amat dekat dengan pengalaman KontraS memantau situasi operasi keamanan Sintuwu Maroso yang digelar oleh pasukan gabungan TNI/Polri antara tahun 2001 hingga 2005 sebanyak 7 kali perpanjangan masa operasi; termasuk yang mempopulerkan istilah penembakan Orang Tak diKenal (OTK) tanpa pernah membawa bukti ada pelaku yang diseret ke pengadilan atas teror dan kekerasan yang dialami warga Poso.

Selain itu, KontraS juga menyoroti pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo per tanggal 4 dan 5 Januari 2016 pada Sidang Kabinet yang menerangkan bahwa Pemerintah Indonesia akan menempuh jalur amnesti (pengampunan) kepada kelompok Din Minimi. Langkah yang sama juga akan diterapkan pada situasi Poso dan Papua. KontraS ingin mengingatkan Presiden bahwa proses hukum tersebut harus melihat konteks pidana yang telah dilakukan oleh kelompok Din Minimi. Prasyarat pemberian amnesti yang merujuk pada Nota Kesepahaman Damai (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditahun 2005 memang memberikan seluas-luasnya akses amnesti untuk mendorong penguatan perdamaian di sana. Akan tetapi, jika pemerintah ingin implementatif terhadap isi pelaksanaan MoU Helsinki maka wacana amnesti bukanlah prioritas yang dibutuhkan warga Aceh saat ini. Ada proses keadilan dan pengungkapan yang tidak pernah tersentuh dan terkesan dipinggirkan pemerintah. Alih-alih rasa aman inklusif yang tercipta, pemerintah justru memiliki motivasi lain mengapa pemberian Din Minimi yang diinisiatori oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dijadikan alat pelunak dalam mengambil simpati rakyat Aceh.

Jangan sampai tindakan ‘mengistimewakan’ individu kriminal semacam Din Minimi yang diambil praktis oleh pemerintah justru melupakan warga bahkan korban pelanggaran HAM yang berat di Aceh, di Poso, di Papua yang selama ini sering dijadikan subyek keamanan, kerap dijanjikan kesejahteraan, namun tidak pernah dilibatkan dalam ruang konsultasi dan solusi untuk menjawab masalah.

Untuk situasi Poso dan Aceh KontraS menyerukan agar Negara mau membuka ruang evaluasi keamanan sebagai berikut:

  1. Dalam bekerja, sebagai pimpinan operasionalisasi Kapolri dan Panglima TNI harus membuka hasil evaluasi pelaksanaan operasi Camar Maleo 2015 secara transparan. Ukuran evaluasi (baik keberhasilan, kendala dan tantangan) tidak bisa diukur dari sejauh mana kelompok Santoso cs terdesak di satu titik, namun juga harus diperhitungkan sejauh mana rasa aman warga terjamin, tidak ada ruang kriminalisasi, dan ketersediaan akses pengaduan hingga pemulihan apabila ada kesalahan dalam prosedur operasi keamanan.
  2. Komisi I (Bidang Pertahanan) dan Komisi III (Keamanan) DPR RI harus segera memanggil Kapolri dan Panglima TNI dalam rapat evaluasi ini. Komisi I dan III memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prosedur keamanan yang diambil tidak melenceng dari prasyarat akuntabilitas dan transparansi yang digunakan. Dalam evaluasinya, Komisi I dan III harus juga melibatkan beberapa komisi Negara independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, Kompolnas dan lain sebagainya dalam memberikan masukan dan menghadirkan ruang pengawasan eksternal yang ketat dan terukur.
  3. Harus ada mekanisme pemulihan dan ganti rugi yang diberikan kepada individu ataupun warga yang telah dirampas kemerdekaan hak-hak asasinya. Catatan KontraS di atas menunjukkan bahwa operasi keamanan Camar Maleo adalah operasi yang menitikberatkan pada hasil, bukan pada proses. Walhasil, tidak heran apabila baik Polri dan TNI tidak menempatkan Pemerintah Daerah Poso secara strategis untuk menerima keluhan dan komunikasi dari warga.
  4. Media dalam kapasitasnya untuk mengabarkan berita dari lapangan tidak boleh dibatasi ruang geraknya. Dari pantauan KontraS media hanya mendapatkan kabar sepihak dari Polri dan TNI, tidak dari organisasi-organisasi pendamping masyarakat yang banyak menerima keluhan warga Poso.
  5. Terkait dinamika Aceh, pemberian amnesti kepada Din Minimi bukanlah langkah yang tepat dan strategis yang harus diprioritaskan Negara. Menghadirkan fungsi koordinasi untuk mendorong beberapa isu utama seperti akses pemulihan para korban konflik, korban kejahatan daerah Operasi Militer, Operasi Darurat Militer/Darurat Sipil sebagaimana yang diamanatkan oleh MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh adalah mutlak dilakukan Negara.
  6. Saat ini, selain wacana pemberian amnesti yang menguat namun salah sasaran, Negara juga harus memastikan bahwa proses pemilihan komisioner dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus bisa merepresentasikan kebutuhan dari para korban untuk mendapatkan pengungkapan kebenaran, rasa keadilan dan pemulihan atas kejahatan yang telah terjadi sepanjang masa DOM, DM/DS. Amanat pembentukan KKR Aceh adalah amanat perdamaian yang tidak boleh dicederai oleh siapapun, baik elite lokal Aceh, pemerintah local Aceh maupun Pemerintah Indonesia.

Jakarta, 10 Januari 2015

Badan Pekerja KontraS,

Haris Azhar, MA

Koordinator