Densus 88 Minta Kewenangan Berlebih Tetapi Tak Mau Dikontrol

Densus 88 Minta Kewenangan Berlebih Tetapi Tak Mau Dikontrol

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pertama – tama mengapresiasi semangat Pemerintah untuk melakukan pemberantasan terhadap aksi – aksi Terorisme yang terjadi di Indonesia. Namun dengan semangat yang tinggi dalam aksi – aksi pemberantasan terorisme tersebut, kami menilai bahwa terdapat penggunaan kekuatan yang secara berlebihan dan cenderung abuse of power yang dilakukan oleh Densus 88 tanpa diimbangi dengan adanya mekanisme kontrol serta minimnya transparansi dan akuntabilitas.

Penggunaan kekuatan secara berlebihan ini tergambar dari informasi yang kami dapatkan terkait dengan kasus salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Densus 88 pada saat melakukan penangkapan terhadap terduga Teroris di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember 2015 silam. Adapun informasi salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Densus 88, yang kami terima sebagai berikut:

  • Pada tanggal 29 Desember 2015, sekitar pukul 12.00 WIB anggota Densus 88 Antiteror melakukan penangkapan terhadap 2 (dua) orang yang diduga terlibat tindak pidana terorisme a/n Ayom Panggalih dan Nur Syawaludin di Solo, Jawa Tengah;
  • Pada saat proses penangkapan dilakukan, kedua orang tersebut mendapatkan tindakan – tindakan intimidasi seperti penodongan senjata api yang diarahkan langsung ke arah korban. Setelah dilakukan penangkapan terhadap korban, keduanya kemudian langsung dibawa ke Polsek Laweyan dan sempat dilakukan penahanan serta menjalani proses interogasi oleh anggota Densus 88.
  • Sekitar pukul 14.15 WIB, anggota Densus 88 kemudian melepaskan kedua orang korban tersebut begitu saja dari Polsek Laweyan karena tidak terbukti terlibat dalam kasus terorisme.

 

Berkaitan dengan informasi diatas, kami menilai bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Densus 88 terhadap peraturan perundang – undangan maupun peraturan – peraturan internal kepolisian, diantaranya:

  1. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap Kapolri) Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 angka 6 yang menyebutkan bahwa “penindakan tersangka tindak pidana terorisme adalah serangkaian tindakan upaya paksa yang meliputi penetrasi, pelumpuhan, penangkapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti yang dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup terhadap tersangka tindak pidana terorisme”.
  2. Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dalam penjelasan umum butir ke 3 huruf c “Setiap orang yang disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap

 

Selain itu, kami juga menilai telah terjadi pelanggaran terhadap Undang – Undang Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Kami menilai bahwa tindakan – tindakan anggota Densus 88 pada saat melakukan proses penangkapan hingga proses interogasi terhadap kedua orang tersebut, jelas – jelas telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Terlebih lagi proses penangkapan dilakukan tanpa adanya bukti – bukti permulaan yang cukup.

  1. Pelanggaran Hak Fundamental sebagaimana yang dijamin dalam berbagai hukum positif di Indonesia, yang sudah sepatutnya dihormati oleh Polri; yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut,atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
  2. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 34 menyatakan bahwa “Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang – wenang”.
  3. Disebutkan pula dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik [ICCPR], yang telah diratifikasi menjadi Undang – Undang No. 12 Tahun 2005, dalam ketentuan Pasal 10 jelas menyebutkan bahwa “tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang – wenang”.

 

Dari peristiwa diatas, kami mencatat sejumlah hal, diantaranya:

  1. Dari informasi peristiwa di atas, kami menilai bahwa masih minimnya informasi atau tidak dijalankannya mekanisme intelijen yang dimiliki oleh anggota Densus 88 sebagaimana yang seharusnya diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Pasal 11 yang menjelaskan bahwa seharusnya “Intelijen Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf c angka 1, bertugas membuat analisis intelijen tentang situasi dan kondisi tersangka dan lingkungannya, dan menyajikan kepada Manajer Penindakan dan Pelaksana Utama Pra Penindakan” serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 26 ayat (1) “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen”. Hal ini penting dilakukan guna menghindari kasus – kasus seperti diatas dalam hal ini kasus – kasus salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Densus 88;
  2. Peristiwa diatas juga menunjukkan bahwa tidak adanya mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap setiap aksi – aksi pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88, sehingga berujung pada penggunaan kekuatan secara berlebihan dan penyalahgunaan wewenang terhadap orang yang baru dianggap sebagai terduga Teroris. Pelanggaran ini berimplikasi pada adanya pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dijamin oleh Konstitusi, aturan perundang-undangan sampai aturan internal di institusi Polri seperti ketentuan perlindungan HAM dalam tugas pemolisian, tata cara penindakan dalam operasi melawan teroris maupun dalam tata cara penggunaan senjata. Secara umum, peristiwa diatas dapat dilihat sebagai bagian dari tren umum operasi melawan teroris yang tidak akuntabel dan tidak profesional, sebagaimana terjadi pada beberapa kasus lainnya.

 

Terkait dengan hal tersebut, guna mendorong agar semangat pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh institusi Polri khususnya Densus 88 tidak disalahgunakan sehingga terus terjadinya praktik – praktik pelanggaran HAM, untuk itu kami mendesak:

Pertama, Kapolri harus melakukan penindakan terhadap anggota – anggota Densus 88 yang terbukti melakukan tindakan – tindakan pelanggaran dengan mengatasnamakan tindakan pemberantasan terorisme, mengingat instrumen kewenangan yang diberikan sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan karena tidak adanya mekanisme kontrol secara eksternal sehingga mengakibatkan peristiwa – peristiwa diatas kerap terjadi. Hal ini juga penting dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi korban dan sebagai bentuk pemberian efek jera terhadap anggota – anggota di lapangan yang menggunakan kekuatannya secara berlebihan;

Kedua, Komisi III DPR RI sebagai lembaga legislatif yang bermitra dengan POLRI dan BIN memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa prosedur keamanan yang diambil tidak melenceng dari prasyarat akuntabilitas dan transparansi yang digunakan. Komisi III DPR RI dalam melakukan evaluasinya juga harus melibatkan beberapa komisi Negara independen lainnya seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPK, Kompolnas, Ombudsman RI dan lain sebagainya untuk memberikan masukan dan menghadirkan ruang pengawasan eksternal yang ketat dan terukur;

Ketiga, Pemerintah harus bertanggungjawab untuk melakukan pemulihan dan ganti rugi yang diberikan kepada individu ataupun warga yang telah dirampas kemerdekaan hak-hak asasinya seperti peristiwa diatas;

Keempat, Lembaga – Lembaga Pengawas Eksternal, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KPK, Kompolnas, Ombudsman RI dan LPSK seharusnya dapat berperan lebih aktif untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat Negara yang melakukan fungsi pemberantasan terorisme sebagaimana tugas dan kewenangan yang dimiliki.

Demikian hal ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

 

 

Jakarta, 3 Maret 2016

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar

Koordinator

 

Narahubung : Arif Nur Fikri – 081513190363