Menguatnya Privilese Aktor Keamanan yang Anti HAM dan Kebebasan

Menguatnya Privilese Aktor Keamanan yang Anti HAM dan Kebebasan

Hadir kecenderungan yang mulai menguat ketika desas-desus, gosip dan alur informasi yang tidak bisa dilacak kebenarannya kemudian dijadikan landasan sebuah dan rangkaian kebijakan, utamanya kebijakan keamanan di Indonesia. Pasca Simposium 1965 yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan serta Dewan Pertimbangan Presiden ketika digelar bulan April 2016, gerak dan laku koordinasi aktor-aktor keamanan menjadi begitu liar dan nampak tidak bisa dikendalikan oleh kontrol sipil demokratik.

Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh pensiunan Jenderal Ryamrizard Ryacudu mencoba mengambil kesempatan dengan menafsirkan sepihak desas-desus, gosip dan alur informasi yang tidak bisa diverifikasi tentang beberapa hal yaitu:

  1. Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan ideologi komunisme,
  2. menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial yang cenderung berada di garis konservatif untuk memelihata ketakutan, teror dan ancaman dengan mendatangi kelompok-kelompok sosial lainnya yang kerap dituduh mengglorifikasikan gagasan komunisme,
  3. Tindakan 1 dan 2 kemudian dijadikan dasar kebijakan aparat-aparat keamanan –mulai dari tingkat elite dan lapangan yang seolah-olah merepresentasikan negara dan mengunakan privilesenya untuk mengambil tindakan restriktif dan represif.

Ketiga poin di atas bahkan sudah sempat dibaca petanya dalam pernyataan sikap KontraS berjudul Rekayasa Operasi Anti Komunis (12/05). Poin-poin di atas semakin kuat diduga membuat Menhan terpancing untuk menyelenggarakan Simposium 65 Tandingan dengan mengundang figur-figur bermasalah dan kelompok-kelompok sosial konservatif guna mempertebal desas-desus dan tuduhan. Acarapun diketahui didukung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

 

Tidak lama berselang Menhan menyatakan akan segera membentuk Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan di 34 provinsi di Indonesia, dengan meminta staf dan perwakilan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Banyak pihak yang menganggap tindakan Jenderal Ryacudu sah dimata hukum karena melanjutkan program yang diatur di dalam Peraturan Presiden No. 58/2015 tentang Pertahanan Negara dan Peraturan Presiden No. 97/2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2016 yang menegaskan kemungkinan untuk membentuk instansi vertikal di daerah. Menhan berdalih bahwa pembentukan kantor wilayah ini berbeda dengan kantor komando teritorial dengan alasan memediasi kebutuhan militer dan non militer, mendorong fungsi dan kebutuhan pertahanan dengan pembangunan di daerah-daerah.

Menhan juga mulai memunculkan wacana kontroversal yakni usulan untuk membentuk Badan Intelijen Pertahanan (BIP). Meskipun Indonesia telah memiliki Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang berada langsung di bawah komando TNI, BIP usulan Menhan mencoba mencari celah dalam ‘permainan birokrasi’ pasca Perpres No. 58/2015 diterbitkan, menafsirkan Pasal 43(e) yang berbunyi, “Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan kepada Menteri.” Tentu saja ini akan memperrumit UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara yang juga mengatur fungsi intelijen pertahanan dan/atau militer.

Terakhir, merespons agenda Bela Negara. Kami melihat bahwa agenda ambisius ini yang sudah disisipkan dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia yang disahkan melalui Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 23/2015 dibab 7 dapat mencederai relasi sosial dan hari ini akan mewujud menjadi bentuk eksistensi wajah Orde Baru –dengan semangat membangun karakter bangsa melalui pelatihan-pelatihan kelompok paramiliter dan preman sebagaimana yang kini terjadi di Bali. Pertanyaannya mengapa dalam agenda sebesar bela negara ini, negara dalam wujud tentara melatih preman terlebih dahulu? Pertanyaan ini tentu tidak serta merta menyepakati ide dan implementasi dari Bela Negara, mengingat wacana ini pun tidak memiliki urgensi untuk dilaksanakan.

Di sini hadir tafsir sporadis dari elite militer, yang kemudian ditangkap menjadi rangkaian kebijakan resmi organisasi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan RI. Apalagi jika kita melihat kembali Buku Putih Pertahanan terbaru, Menhan nampak ingin mereproduksi wacana ‘ancaman’ di Indonesia dengan menyederhanakan antara ancaman nyata dan ancaman belum nyata, sebagaimana yang ia kutip dan tegaskan dalam pertemuan the 15th Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura pada bulan Juni 2016.

 

Sebagai penutup, semua rangkaian masalah dan silang sengkarut di atas apabila jika tidak dibenahi baik dari sisi birokrasi pertahanan, re-organisasi institusi, keputusan kebijakan dan yang utama adalah akses informasi kepada publik maka risiko-risiko terbesar selain menempatkan publik, individu dan organisasi-organisasi sipil yang bergiat dibidang demokrasi, HAM dan isu kebebasan fundamental menjadi bentuk ancaman adalah legitimasi pemerintahan sipil demokratik yang mampu mengontrol semua keputusan (politik) militer di Indonesia.

Presiden Joko Widodo nampak tidak memiliki perhatian dan interest isu pada bidang keamanan dan pertahanan. Hal ini akan menjadi problematika di kemudian hari apabila semua agenda politik, pembangunan, sosial dan ekonomi yang digadang-gadang pemerintah justru memberikan celah kepada konsolidasi militer untuk mengambil alih agenda sipil demokratik di Indonesia.

 

 

Jakarta, 13 Juni 2016

 

Imparsial: Al Araf – 081381694847

Pusat Kajian Keamanan Migrasi dan Perbatasan: Mufti Makaarim – 081319109844

KontraS: Puri Kencana Putri – 08175455229