Surat Terbuka: Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan Bagi (alm.) Soeharto

No.         :  268/SK-KontraS/VI/2016

Hal         :  Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan Bagi (alm.) Soeharto

 

 

Kepada Yth.,
Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan 
Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu
Di – Tempat

 

 

Salam hormat,

Melalui surat ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada rezim otoriter Orde Baru, bermaksud menyampaikan rekam jejak pelanggaran hukum yang dilakukan (alm.) H.M. Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia II, sekaligus menjadi alasan mengapa usulan dan upaya-upaya pemberian gelar Pahlawan Nasional RI tidak layak diberikan kepada almarhum.

Pada hakikatnya gelar pahlawan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan terhadap warga negara yang berjasa dan mendarmabaktikan hidupnya serta memberikan karya terbaiknya terhadap bangsa dan negara. Seseorang layak diberikan gelar pahlawan ketika dalam riwayat hidupnya ia tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya. Soeharto adalah sosok yang kontroversial. Mengutip kalimat yang pernah digunakan oleh mantan Presiden RI IV, Abdurrahman Wahid, “Soeharto itu jasanya besar tetapi dosanya juga besar.”

 

Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) menyimpulkan  enam pola kekerasan pada empat dasawarsa;

  1. Pembasmian: pembasmian adalah pembunuhan yang dilakukan dalam skala yang besar, secara langsung maupun dengan menciptakan kondisi kehidupan yang bisa mengakibatkan kematian. Pembasmian terjadi dalam skala besar pada awal rejim Orde Baru, dan terulang pada periode pasca reformasi di Timor-Timur, Aceh dan Papua.
  2. Kekerasan dalam perampasan sumber daya alam: berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran-pembunuhan, penculikan, penahanan dan penyiksaan, dan pengadilan yang tak adil-berkaitan dengan upaya pengambil-alihan sumber daya alam oleh atau dengan dukungan negara. Perampasan sumber daya alam demi masuknya investor asing adalah salah satu karakter pemerintahan Orde Baru, yang warisannya masih kental dirasakan sampai dengan sekarang.
  3. Penyeragaman dan pengendalian: dalam rangka menjalankan kebijakannya, pemerintah Orde Baru menggunakan azas penyeragaman dan pengendalian total terhadap agama, kepercayaan, budaya, desa, tanah, organisasi-untuk melibas kemajemukan dan realita yang menghalangi agenda pembangunan. Penyeragaman dan pengendalian digunakan untuk memperkuat kontrol terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang ada pada masyarakat.
  4. Kekerasan antar warga: kekerasan berbasis agama, etnis, dan kelompok dikelola dan digunakan untuk memperpanjang tangan negara dan aparat keamanan. Strategi ini digunakan pada peristiwa-peristiwa pembasmian oleh rejim Orde Baru. Setelah reformasi, kekerasan antar warga muncul dalam skala luas di Kalimantan, Maluku, Poso dan wilayah-wilayah lain.
  5. Kekerasan terhadap perempuan: perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan perempuan, dan kekerasan lainnya terjadi dalam seluruh pola kekerasan yang dipaparkan disini. Pada pembasmian, perampasan, pengendalian dan kekerasan antar warga, perempuan menjadi korban kekerasan yang secara khusus menyasar tubuh perempuan. Perempuan menghadapi tembok yang sulit untuk ditembus pada saat mencoba menggunakan hukum untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan.
  6. Kebuntuan hukum:  sampai dengan saat ini, belum ada proses pengadilan untuk pelaku yang efektif. Semua terdakwa yang diadili di pengadilan HAM Ad Hoc dan permanen, untuk kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura (Papua), akhirnya dibebaskan. Negara juga tidak menghadirkan upaya apapun untuk pemulihan bagi korban. Keberlangsungan impunitas menyebabkan kasus-kasus pelanggaran HAM semakin banyak, dan kebuntuan penyelesaiannya semakin menumpuk. Pelaku terus dalam posisi berkuasa, dan korban terus dalam posisi dipinggirkan dan disalahkan. Impunitas membuka kesempatan untuk terjadinya kekerasan baru, karena tak ada sanksi untuk pelaku kekerasan.

Pendeknya, selama masa Orde Baru, negara menjelma menjadi sebuah mesin yang sangat efektif dalam menjalankan karakter otoriternya; membasmi, merampas, mengendalikan, mengadu-domba, dan memperkosa, difasilitasi oleh tumpulnya penyelenggaraan hukum. Setelah rejim Soeharto berakhir, berbagai pemerintahan sesudahnya tetap gagal dalam mengakui dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan ini. Warisan kekerasan dan impunitas masih membelenggu kita. Reformasi belum tuntas.

Dalam catatan kami, Soeharto bertanggungjawab atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat serta tindak pidana korupsi, sebagaimana kami uraikan sebagai berikut:

 

  • Kasus-kasus Pelanggaran HAM, Pelanggaran HAM Berat dan Implikasinya

Dimasa kepemimpinan (alm.) H.M. Soeharto atau masa-masa awal kepemimpinannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, telah terjadi banyak kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat. Warisan kejahatan masa lalu yang otoriter pada zaman pemerintahan Soeharto tersebut dijalankan lewat sejumlah kebijakan politik yang represif, maupun lewat perundang-undangan yang diskriminatif untuk meredam berbagai aspirasi masyarakat. Pada era Orde Baru peran Soeharto selaku Presiden sangatlah dominan dan paling menentukan arah dan kebijakan politik pada saat itu. Dimasa pemerintahannya pendekatan keamanan sangat dominan dalam menunjang eksistensi rezim politiknya dan kebijakan ekonomi pembangunan. Berbagai kebijakan dan praktik kekerasan mendapatkan restu dari Soeharto. Akibatnya terdapat berbagai bentuk pelanggaran HAM berupa pembunuhan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, penculikan, perampasan harta benda, maupun diskriminasi sosial dalam periode kepemimpinan pemerintahan alm. Soeharto.

Berikut adalah temuan dan catatan atas sejumlah kasus, baik yang merupakan hasil kerja Komnas HAM sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ataupun catatan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil dimana peran sertanya di dalam penegakan HAM dijamin oleh Pasal 100 UU No. 39 Tahun 1999;

a.Dalam kasus 1965-1966, (alm.) Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di pulau Buru sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Ko Ops Pemulihan Kam/Tib. Melalui keputusan Presiden No. 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto, 2003).
b.Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap residivis, bromocorah, gali dan preman yang dikenal sebagai “penembakan misterius” pada tahun 1981-1985Kebijakan Soeharto atas persoalan ini, terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, ia  mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari efek kejut  (shock terapy) sebagaimana diakuinya dalam otobiografi Soeharto yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Ramadhan KH, hal 389, 1989). Sementara Amnesty Internasional lembaga advokasi HAM dengan skala internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals) .
c.Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1987, mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang  mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,  53 orang terampas kemerdekaannya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan (Laporan Ringkasan Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989,  Komnas HAM, 2008; Hasil Investigasi KontraS, 2006).
d.Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998). Pemberlakuan operasi ini adalah kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003). Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak. Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami perkosaan. Sementara itu Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh, yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen Masyarakat Sipil Aceh, dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober 2010; baca juga Laporan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan Aceh; 1999).
e.Pemberlakuan DOM Papua (1963-2003), dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa seperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang;  Peristiwa Kebar 1965 dimaana 23 orang terbunuh; Peristiwa Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati; dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa;  Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh; Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua; dalam peristiwa Wamena 1977, 14 warga terbunuh; dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003).
f.Dalam Peristiwa 27 Juli (1996), (alm.) Soeharto memandang Megawati sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati; peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Dalam peristiwa ini, 11 orang meninggal, 149 orang luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan. Berdasarkan analisa Komnas HAM bahwa peristiwa tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan  (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003).
g.Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998,  peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. di masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Implikasinya setidaknya 23 aktivis pro-demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa. Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim Mawar”. Terdapat  9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang (Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa, Komnas HAM, 2006).
h.Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998, masih bersambung dengan latar belakang tuntutan aktivis dan mahasiswa pro-demokrasi, untuk mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pemerintahan Soeharto. Tindakan represif penguasa melalui kaki tangan aparatur negara; ABRI dan Polisi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan. Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan bahwa dalam peristiwa ini telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat (Laporan Akhir Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Komnas HAM, 2002).
i.Peristiwa 13–15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa. Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspon dengan sebuah “penciptaan dan pembiaran” kekerasan dan kerusuhan  pada 13-15 Mei 1998. Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu, pengusiran  paksa yang terjadi di seluruh wilayah DKI Jakarta dan di beberapa daerah di Indonesia oleh kelompok massa dalam jumlah besar, namun tidak dilakukan upaya baik itu pencegahan, pengendalian maupun penghentian oleh aparat keamanan di bawah tanggungjawab alm. Soeharto (Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Komnas HAM 2003; dan Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, 1998).

 

Selain kasus-kasus yang sudah diuraikan di atas, pada masa pemerintahan Soeharto juga terjadi pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin (1996), kasus penembakan warga dalam Pembangunan Waduk Nipah Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996, kasus pembantaian padepokan Haur Koneng Majalengka (1993), pembredelan media massa, larangan berorganisasi (Penetapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, 1974-1975), pemberangusan organisasi kemasyarakatan dengan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam sektor pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya, setidaknya kami mencatat beberapa kasus; Perampasan tanah rakyat Kedung Ombo (1985-1989), Perampasan tanah rakyat atas nama PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), Perampasan tanah masyarakat adat Dongi Sulawesi Selatan untuk perusahaan tambang nikel, Perampasan dan penggusuran rumah warga Bulukumba oleh PT. LONSUM, Kasus pencemaran dan kekerasan yang dilakukan oleh Indorayon di Porsea Sumatera Utara, Kasus pembakaran rumah warga, kekerasan seksual yang dilakukan oleh PT. Kelian Equal Mining di Kalimantan Timur, Dugaan korupsi menyangkut penggunaan uang negara oleh tujuh yayasan yang diketuai Soeharto: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Secara keseluruhan selama alm. H.M. Soeharto berkuasa diduga telah menggelapkan uang negara sebesar 35 milyar dollar Amerika Serikat.

Akibat dari peristiwa-peristiwa tersebut, terdapat banyak kerugian yang dialami para korban akibat kebijakan yang dilakukan di bawah pemerintahan (alm.) Soeharto, baik materil maupun imateril. Banyak korban  kehilangan sanak keluarga, harta benda, pekerjaan, cacat seumur hidup, perlakuan diskriminatif dan stigma negatif. Dimana sampai hari ini para korban dan keluarga korban masih terus mengupayakan adanya tanggungjawab dan penjelasan negara atas pelanggaran HAM yang terjadi.

 

  • Tindak Pidana Korupsi

Pada September 1998, tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Ada 7 yayasan yang diperiksa Kejaksaan Agung saat itu, yakni Yayasan Dana Mandiri, Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong, serta Trikora. Aset tujuh yayasan tersebut ditaksir senilai Rp 5,728 triliun.

Dugaan KKN ini lantaran dalam yayasan-yayasan tersebut juga tersimpan dana yang berasal dari negara. Per Juni 1999, sisa dana Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebesar Rp 4,3 miliar ditemukan dalam rekening yayasan-yayasan itu.

Pada awal Desember 1998, Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib mengungkap hasil pemeriksaannya, yakni ada dugaan penyalahgunaan dana pada sejumlah yayasan sebesar Rp 1,4 triliun. Tak hanya itu, Kejaksaan Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama keluarga Cendana.

Akhir Maret 2000, Soeharto ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya. Namun saat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pada akhir Agustus 2000, Soeharto tidak hadir. Tim dokter ketika itu menyatakan Soeharto tak mungkin mengikuti persidangan.

Pada tahun 2015, Mahkamah Agung telah menyatakan melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 (atau sebesar Rp 4,4 triliun berdasarkan kurs saat itu) kepada Pemerintah RI.

Kantor PBB urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2005 yang menyebutkan bahwa H.M. Soeharto berada pada peringkat 1 sebagai (mantan) Presiden terkorup di abad 20. Dalam daftar itu disebutkan, Soeharto (Indonesia) korupsi sebesar US$ 15-35 miliar, Ferdinand E. Marcos (Filipina)  US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar.

  • Pengakuan Negara atas Pelanggaran HAM Berat dan Korupsi yang Dilakukan Soeharto

Pada awal reformasi, pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikomandani Soeharto dituangkan dalam peraturan berikut:

  1. TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Dalam Bab II mengenai Kondisi Umum, MPR mengakui secara eksplisit bahwa krisis hukum di rezim sebelumnya (rezim Soeharto)
  2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebagaimana Pasal 4 mendorong dilakukannya pengadilan bagi Soeharto dan kroninya.

 

Tidak pernah dipidananya Soeharto tidak membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Tentu masih jelas di ingatan kita, peradilannya dihentikan pada tahun 2006 karena kondisi kesehatan yang memburuk. Namun tidak menghilangkan fakta adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dia praktikkan selama 32 tahun, sebagaimana diakui oleh negara sendiri dalam peraturan-peraturan di atas.

Akhir kata, H.M. Soeharto tidak memiliki integritas moral dan keteladanan—sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan—untuk diberikan gelar Pahlawan Nasional. Kami meminta agar Dewan cermat memperhatikan fakta dan implikasinya secara sosial, politik dari pemberian gelar pahlawan bagi (alm.) Soeharto.

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

 

 

Jakarta, 27 Juni 2016
Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, S.H., M.A.
Koordinator