Kasus Kekerasan di Taliabu: Cermin Konflik Sumber Daya Alam Yang Terus Berulang

Kasus Kekerasan di Taliabu
Cermin Konflik Sumber Daya Alam Yang Terus Berulang

Laporan Lengkap Pelanggaran Tambang PT ADIDAYA TANGGUH di Pulau Taliabu

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak Negara untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat Kab. Kepulauan Taliabu, Maluku Utara dan menyelesaikan persoalan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang diakibatkan oleh aktivitas usaha pertambangan milik perusahaan hingga merugikan masyarakat setempat.

Sebelumnya, kami telah menerima pengaduan dari pendamping dan perwakilan masyarakat Kab. Kepulauan Taliabu terkait adanya persoalan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi sengketa lahan dan pengrusakan lingkungan yang terjadi Kab. Kepulauan Taliabu, yang dilakukan oleh PT. Adidaya Tangguh dengan peran serta aparat keamanan Polres Kepulauan Sula. Konflik di Taliabu ini bermula ketika PT. Adidaya Tangguh melakukan berbagai aktivitas di Kecamatan Taliabu Utara dan Lede. Sejak awal masuknya perusahaan, masyarakat tidak pernah dilibatkan dan disosialisasikan terkait dengan Kajian Analisis Dampak Lingkungan (KA AMDAL). Masyarakat juga menganggap bahwa proses pemberian ganti kerugian yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan pemerintah daerah terkesan sepihak, dikarenakan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa kepemilikan tanah di wilayah Kab. Kepulauan Taliabu merupakan milik Negara. Dan yang terpenting, penolakan masyarakat atas aktivitas perusahaan tersebut dikarenakan adanya dampak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kab. Kepulauan Taliabu, seperti perubahan wilayah catachment area (hutan kayu tangkapan air) dan sendapan sungai. Selain itu, sumber mata air di Kab. Kepulauan Taliabu seperti sungai Fango, sungai Samada dan sungai Wake kini sudah tersedimentasi dari endapan lumpur merah sehingga dalam waktu tiga bulan terakhir telah mengakibatkan banjir dan merusak tanaman produktif warga.

Adanya persoalan konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan tersebut sebenarnya kerap diprotes oleh masyarakat setempat namun tidak pernah mendapatkan respon dari pihak perusahaan. Aksi – aksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan aktivitas perusahaan tercatat sudah dilakukan selama 42 (empat puluh dua) kali. Puncaknya, pada 23 Februari 2017 terjadi peristiwa bentrokan yang melibatkan masyarakat Kab. Kepulauan Taliabu dengan aparat keamanan, sesaat setelah masyarakat menyelesaikan aksi di depan Port Gambose (pintu masuk perusahaan) untuk menuntut penutupan kegiatan tambang oleh PT. Adidaya Tangguh. Pada peristiwa tersebut, 10 (sepuluh) orang masyarakat justru kemudian ditetapkan sebagai tersangka provokasi.

Peristiwa yang terjadi di Taliabu diatas sebenarnya bukan peristiwa pertama dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang berdampak pada terjadinya sejumlah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Peristiwa serupa juga terjadi di wilayah – wilayah Indonesia lainnya seperti terjadi pada kasus penolakan tambang di Kepulauan Romang, Maluku (http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2345), kasus penolakan pendirian Pabrik Semen di Rembang Jawa Tengah (http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2026) dan beberapa kasus Konflik Sumber Daya Alam (SDA) lainnya.

Banyaknya kasus terkait dengan konflik – konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang muncul seperti diatas, menunjukkan bahwa orientasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) hanya semata – mata komoditas untuk mencari keuntungan, tanpa memikirkan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak pernah melihat konteks permasalahan secara menyeluruh sehingga berdampak pada munculnya konflik – konflik baru yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan aparat keamanan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus diatas, seperti upaya kriminalisasi, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan hingga kasus – kasus pembunuhan.

 

Oleh karenanya, dengan berkaca pada peristiwa diatas, kami mendesak agar:

Pertama, Negara dalam hal ini, Kapolri untuk mencegah anggota-anggotanya di lapangan untuk melakukan upaya – upaya kriminalisasi terhadap masyarakat. Polri seharusnya melihat konteks peristiwa yang terjadi dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) secara menyeluruh dan sebagai sebuah sebab akibat. Apalagi mengingat tindakan kritis masyarakat yang memperjuangkan kelestarian lingkungan di wilayahnya dilindungi oleh Negara. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 66 Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Kedua, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup  dan Kehutanan segera melakukan second line enforcement, yakni melakukan pengawasan langsung dan Audit Lingkungan Hidup terhadap aktivitas usaha perusahaan – perusahaan di Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya konflik – konflik yang muncul kedepannya. Kementerian Lingkungan Hidup  dan Kehutanan juga harus melakukan tindakan tegas jika terbukti ada perusahaan yang melanggar sejumlah aturan perundang – undangan, Pemerintah dengan tegas melakukan pencabutan izin lingkungan dan izin usaha. Selain itu, Pemerintah juga harus melakukan moratorium penerbitan berbagai izin yang merusak lingkungan, terhadap perusahaan – perusahaan yang akan beraktivitas di Indonesia hingga proses audit lingkungan selesai dilakukan;

Ketiga, Pemerintah selain mewajibkan perusahaan – perusahaan untuk memiliki Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL), serta mendudukan kembali proses pra-ANDAL yang menjadi landasan AMDAL, juga harus memastikan bahwa perusahaan – perusahaan yang telah memiliki izin usaha, untuk melakukan pemenuhan terhadap hak – hak masyarakat di sekitar lokasi perusahaan. Selain itu, Pemerintah juga harus memastikan bahwa proses pemulihan terhadap lingkungan pasca dilakukannya eksplorasi harus terpenuhi.

 

 

Jakarta, 30 Maret 2017

 

KontraS – Arif 0815.1319.0363

KPA – Benny 085363066036

IHCS – Ridwan 081286728337

JATAM – Merah 081347882228