16 Tahun Kasus Wasior: Pengadilan HAM Jangan Hanya Jadi Diplomasi Internasional

16 Tahun Kasus Wasior
Pengadilan HAM Jangan Hanya Jadi Diplomasi Internasional

Hari ini, 13 Juni 2017, bertepatan dengan 16 tahun peristiwa pembunuhan terhadap warga Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Selama 16 tahun pula nasib para korban terkatung-katung tanpa ada kepastian hukum terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini telah mengakibatkan dampak yang sangat serius dan semakin mempertebal ketidakpercayaan korban terhadap Pemerintah.

Tekanan dunia internasional yang terus menerus mempertanyakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua harus menjadi perhatian serius pemerintah. Janji Presiden Joko Widodo untuk mengambil langkah konkrit penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak menunjukan kemajuan. Dalam Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB atau United Nations 3rd Cycle Universal Periodic Review yang diadakan di Jenewa pada  3 Mei 2017, Pemerintah Indonesia menjanjikankan menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan, termasuk dugaan pelanggaran HAM di Papua.  Disebutkan juga bahwa Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM di Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena.

Janji tersebut jangan hanya sebatas menjadi alat diplomasi pemerintah untuk meredam perhatian internasional terhadap situasi Papua, termasuk kemandekan penyelesaian kasus Wasior Wamena. Penjelasan UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menekankan bahwa pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) menjadi musuh umat manusia (Hostis Humanis Generis) sehingga penyelesainnya mengenal prinsip Universal Jurisdiction. Dalam hal ini Pertanggungjawaban kejahatan serius tidak mengenal batas teritori dan kadaluwarsa. Apabila pemerintah Indonesia mangkir dan tidak segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk memenuhi janji pengadilan HAM untuk kasus Wasior Wamena, maka akan semakin memperburuk wajah diplomasi dan penegakan HAM di Papua. Hal ini memberikan otoritas internasional untuk terus memberi evaluasi atas situasi Papua.

Untuk merealisasikan janji tersebut, Kejaksaan Agung harus segera melakukan penyidikan terhadap kasus Wasior-Wamena. Tim Ad Hoc Komnas HAM telah melakukan penyelidikan projustisia yang mencakup peristiwa Wasior dan Wamena sejak 17 Desember 2003 hingga 31 Juli 2004. Hasil penyelidikan tersebut menemukan bukti awal adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil yang mengakibatkan  4 (empat) warga tewas, sekitar 39 orang terluka akibat penyiksaan, sebanyak 5 (lima) orang hilang (dihilangkan secara paksa/penghilangan orang secara paksa), dan satu orang mengalami kekerasan seksual. Pada tahun 2004, berkas laporan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2004. Tetapi selama ini proses hukumnya terhambat karena Kejaksaan Agung menolak dengan cara mengembalikan berkas ke Komnas HAM-tercatat sudah 2 (dua) kali bolak-balik berkas dari  Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Penyerahan berkas oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung terakhir kali dilakukan pada September 2008.

Selain peristiwa Wasior, tercatat berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, seperti  Tragedi Wamena Berdarah (4 April 2003); Tragedi Biak Berdarah (6 Juli 1998); Abepura Berdarah (7 Desember 2000); Pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan penghilangan paksa Aristoteles Masoka (10 November 2001); Abepura (16 Maret 2006); dan berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga saat ini di Papua. Dari sejumlah kasus di atas, hanya kasus Abepura yang telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar pada tahun 2005. Itu pun dalam amar putusannya Hakim membebaskan para pelaku dan tidak memberikan hak atas reparasi (kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) bagi para korban.

Langkah nyata dan efektif Presiden RI Joko Widodo untuk keadilan dan HAM di Papua diuji. Langkah tersebut diantaranya adalah dengan;

Pertama, Mengintruksikan langsung Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan terhadap kasus Wasior Wamena dan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat di Papua. Kejaksaan Agung memiliki kewenangan lebih kuat untuk melengkapi kekurangan hasil berkas laporan penyelidikan Komnas HAM. Tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk terus menerus mengembalikan berkas laporan kepada Komnas HAM. Tindakan penyidikan oleh Kejaksaan Agung dan proses hukum di Pengadilan HAM merupakan indikator untuk membuktikan komitmen Pemerintah Indonesia.

Kedua, Membentuk Komite Adhoc/temporer atau Komisi Kepresiden sebagai salah satu solusi terbaik untuk mempercepat proses penanganan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu secara umum di Indonesia. Keberadaan Komisi Kepresidenan akan mempermudah Presiden dalam mengambil kebijakan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.  Komisi Kepresidenan perlu diisi oleh figur-figur yang berintegritas; tidak memiliki rekam jejak sebagai orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat dan korupsi; berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak mumpuni dalam menangani isu-isu HAM. Komisi Kepresidenan berada langsung dibawah Presiden dan bertanggungjawab sepenuhnya kepada Presiden. Komisi Kepresidenan bertugas menyusun dan bekerja dalam kerangka akuntabilitas pelanggaran HAM berat masa lalu serta memastikan penataan budaya politik dan  hukum menangani luka-luka masa lalu untuk memupuk rasa kebangsaan yang didasari pada nilai-nilai kemanusiaan.

 

 

Jakarta, 13 Juni 2017

 

Yati Andriyani (Koordinator KontraS) 0815 8666 4599

Theo Hasegem (Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah) 0813 4455 3374

Christian Warinussy (Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Papua Barat) 0812 8040 1888

Feri Kusuma (Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS)  0811 8300 575