Pemerintah Daerah Harus Segera Meredam Api dalam Sekam di Luwuk

Pemerintah Daerah Harus Segera Meredam Api dalam Sekam di Luwuk

Respons cepat KontraS dalam atas situasi sosial yang terjadi di Luwuk (4/9) telah mengingatkan kita semua akan pentingnya sistem deteksi dini yang harus dimiliki oleh kepolisian demi mencegah konflik sosial muncul dan terjadi di tengah masyarakat.  Penyerangan yang terjadi terhadap satu perkampungan etnis Muna, di Luwuk Sulawesi Tengah, pasca kematian NH (Etnis Saluan) pada 22 Agustus 2017 harus menjadi catatan dan perhatian penting bagi pemangku kepentingan: pemerintah daerah dan pihak kepolisian, dalam memutus rantai teror juga menjamin keramahan sosial di tengah kota. Rantai teror yang KontraS maknai di sini adalah insiden pengeroyokan yang berujung kepada kematian bukanlah kasus tunggal, melainkan merupakan rangkaian teror yang masih belum terjawab oleh otoritas Luwuk. Keramahan sosial yang juga KontraS maknai di sini adalah bentuk dari pertanggungjawaban otoritas Luwuk (termasuk aparat kepolisian di dalamnya) untuk menciptakan kota yang hidup guyub, bersama dengan jaminan pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM untuk semua warganya.

Demi mendalami gesekan konflik sosial yang terjadi, KontraS memutuskan untuk melakukan pemantauan langsung selama beberapa hari di Luwuk terhitung dari tanggal 10 hingga 13 September 2017. Selama di lapangan, KontraS mencoba untuk bertemu dengan berbagai kalangan masyarakat guna menemukan fakta dan melihat rangkaian peristiwa dalam sudut pandang yang lebih luas. Adapun beberapa temuan yang bisa disarikan di sini adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa sebelum insiden pengeroyokan yang berujung pada kematian, NH (korban) bersama F (kerabat korban) sebelumnya pada Januari 2017 telah meminta visum kepada kepada Kepolisian Resort Banggai atas dugaan penganiayaan yang menimpa mereka pada 8 Januari 2017 pukul 04.00 WITA di Kelurahan Mengkio, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai. Dugaan penganiayaan (yang hingga kini tidak diketahui pelakunya) terhadap korban dan rekannya tidak mendapat respons, beserta permintaan visum pun tidak dilanjutkan oleh pihak kepolisian.
  2. Bahwa sebagian besar etnis Saluan yang berada di Luwuk merespons cepat pasca kematian NH dengan melakukan serangkaian aksi. Bermula dengan aksi pembakaran ban (24/82017) kemudian menuju perkampungan etnis Muna dan melakukan beberapa pengerusakan terhadap rumah warga akibat akumulasi kekesalan atas kejadian-kejadian yang sebelumnya pernah terjadi, seperti pelecehan seksual, penjambretan yang tidak pernah mendapatkan perhatian penuh dari kepolisian.
  3. Bahwa proses Dialog Kebangsaan (28/8/2017) di Gedung DPRD yang dihadiri oleh Wakapolda Sulteng, Kasrem 132, Anggota DPRD Banggai, dan tokoh masyarakat dirasa kurang untuk menciptakan perdamaian di Luwuk. Baik dari etnis pendatang maupun etnis lokal khawatir acara tersebut hanya seremonial belaka karena dianggap tidak akan ditindaklanjuti dalam medium-medium kecil, seperti lembaga adat yang sudah 6 tahun tidak aktif. Sementara di luar gedung, Berdasarkan informasi yang kami terima, estimasi jumlah aparat yang menjaga sekitar 1200 personil untuk menjaga proses Dialog Kebangsaan. Massa yang awalnya menanganggap proses tersebut berlangsung secara terbuka, bingung ketika tertahan di luar gedung. Alhasil massa yang tidak terima bentrok dengan aparat keamanan, kemudian mengakibatkan 5 korban dari pihak warga.
  4. Bahwa perlu diakui bahwa Dialog Kebangsaan hadir sebagai “akibat” dari serangkaian kejadian dan “pembiaran” yang terjadi di Luwuk selama ini. Penyebab konflik salah satunya terjadi akibat kecemburuan sosial di sektor ekonomi, ada dugaan penguasaan alat produksi ekonomi di pasar dan di pelabuhan yang menimbulkan ketidakadilan. Hal tersebut diperparah dengan tidak terakomodirnya akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi oleh pemerintah daerah. Poin (5) hasil dari Dialog Kebangsaan yang menjelaskan tentang kecemberuan sosial harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah daerah untuk menjalankan tata laksana kebijakan yang adil bagi seluruh masyarakat.
  5. Bahwa faktor lain yang juga menjadi penyebab konflik adalah adanya persaingan elit politik lokal. Di sektor pemerintahan, Etnis Saluan tidak dapat mengakomodir kegiatan adatnya karena ketidakaktifan lembaga adat yang telah nonaktif semenjak 6 tahun belakangan. Adapun isu putra daerah yang tidak mendapat tempat di pemerintahan juga menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Persaingan yang muncul di kalangan elit lokal di Luwuk untuk menguasai pemerintahan seringkali menggunakan “sentimen” kearifan lokal untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Pemerintah daerah harus menyeimbangkan posisi adat dengan praktik politik (sesuai dengan peraturan perundang-undangan) dilakukan secara proporsional. Hal tersebut selaras dengan Perda nomor 1 tahun 2008 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai menjelaskan bahwa pentingnya meningkatkan peran nilai-nilai adat istiadat dalam menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan, dan peningkatan ketahanan nasional serta mendorong kesejahteraan masyarakat setempat.
  6. Bahwa hingga kini situasi yang terjadi di Luwuk seperti api dalam sekam, aman tapi mencekam. Serangkaian aksi yang terjadi merupakan ekspresi atas kerentanan di sektor keadilan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di Luwuk. Jika ke depan pemerintah daerah tidak mampu memetakan dan mengakomodir permasalahan ini, dikhawatirkan akan muncul konflik serupa bahkan dalam skala yang lebih besar.

 

Beragamnya etnis dan bertumbuhnya populasi penduduk di Luwuk jelas menimbulkan masalah baik sosial, maupun lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Dengan mempelajari beragam etnis yang tersebar di Luwuk, pemerintah daerah dapat memperhatikan pola distribusi spasial dan interaksi antar kelompok etnis, karakteristik budaya yang mendasari sifat/tingkah laku mereka. Ditambah, kecenderungan dari masyarakat dalam melihat suatu konflik lebih mendahulukan kepentingan etnisnya, bukan dari perilaku benar atau salahnya.

Pada dasarnya suatu komunitas etnik adalah komunitas yang mempercayai kelompoknya memiliki asal-usul yang sama, kebiasaan kultural yang sama, sejarah dan mitologi bersama. Sedangkan, etnisitas dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran kolektif kelompok yang menanamkan rasa memiliki yang berasal dari keanggotaan dalam komunitas yang terikat secara turun temurun melalui kebudayaan yang sama. KontraS ingin menggarisbawahi bahwa penting untuk mengenali suatu wilayah berdasarkan lokasi geografi dan kondisi masyarakat adat yang mereka tinggali sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Hal tersebut menjadi penting dalam menghindari terjadinya konflik maupun membuat kebijakan untuk kebaikan bersama.

Pemerintah daerah merupakan aktor utama dalam penanganan konflik sosial mulai dari tahap pencegahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, meredam potensi konflik sebagaimana diatur dalam Pasal 9, membangun sistem peringatan dini yang diatur dalam Pasal 10 UU no 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Selain itu, koordinasi dengan pihak kepolisian dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem deteksi dini guna mengenali sumber-sumber penyebab konflik sosial yang dapat menimbulkan terjadinya konflik kekerasan. dalam Protap No. 1/X/2010 dijelaskan tentang pedoman bagi setiap anggota Polri dalam menangani tindakan kekerasan. Dalam menangani tindakan anarki, sesuai dengan Protap, kepolisian harus memerhatikan empat asas: Pertama, asas legalitas, anggota polisi dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. Kedua, asas nesesitas, anggota Polisi yang melakukan tindakan mesti didasari oleh suatu kebutuhan penegakan hukum. Ketiga, asas proporsionalitas, anggota Polisi yang melakukan tugas penanggulangan tindakan kekerasan harus menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam menegakan hukum. Keempat, asas akuntabilitas, anggota Polri yang melakukan tugas penanggulangan anarki senantiasa bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada intinya, penindakan secara cepat, tepat, dan tegas harus mengedepankan prinsip hak asasi manusia sebagaimana yang tertuang dalam Perkap nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Hal tersebut menjadi penting sebab kecenderungan konflik sosial yang terjadi kerap ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan sebagian pihak untuk memelihara keadaan mencekam. Kemudian, disampaikan informasi tersebut secara dua arah dengan pendekatan keamanan dan ketertiban masyarakat berawasan perdamaian untuk menenteramkan situasi keamanan.

Terkait dengan peristiwa tersebut, guna membuktikan keseriusan pemerintah daerah dan kepolisian dalam memelihara keamanan, ketertiban masyarakat dalam kaitannya dengan konflik dan mencegah terjadinya konflik berkepanjangan, maka KontraS merekomendasikan Pemerintah Kabupaten Banggai dan Kepolisian Resort Banggai untuk melakukan sejumlah hal:

Pertama, Pemerintah Kabupaten Banggai bersama Kepolisian Resort Banggai menindaklanjuti hasil dari Dialog Kebangsaan dengan memfasilitasi perpecahan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat termasuk penyelesaian perselisihan antar warga masyarakat, memberdayakan dan mengendalikan peran pranata sosial yang ada sebagai wadah untuk penyelesaian masalah sosial guna mecegah terjadinya konflik yang lebih besar.

Kedua, Pemerintah Kabupaten Banggai berkewajiban melakukan upaya pemulihan pasca-konflik dengan rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi melalui pertemuan-pertemuan, baik formal maupun informal, dari para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda dari etnis-etnis yang ada di Luwuk untuk mengurangi ketegangan atau proses cooling down dengan cara persuasif.

Ketiga, dalam jangka panjang, Pemerintah Daerah mendorong masuknya instrumen HAM sebagai upaya memetakan hambatan penikmatan hak asasi manusia yang dialami seluruh warga, termasuk kelompok rentan. Hal ini dapat dilakukan dengan meninjau kembali peraturan, kebijakan, program maupun prosedur yang membatasi penikmatan hak asasi manusia, yang di dalamnya mencakup: RTRW, Rencana Kerja Daerah, Peraturan Daerah, dan prosedur dalam penyusunan kebijakan untuk pelayanan publik.

Keempat, semua instrumen hukum yang melekat di dalam tubuh kepolisian harus diterapkan secara seksama, termasuk melibatkan unsur evaluasi dan koreksi. Beberapa badan negara yang harus turut memantau ketika Luwuk pecah seperti Komnas HAM harus memerhatikan unsur pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.