Menyoal Pelibatan Militer dalam Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Menyoal Pelibatan Militer dalam Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pembahasan terhadap revisi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih berlansung di DPR. Menurut ketua Panja RUU, Muhammad Syafii, rencana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme pun sudah disepakati, namun hal tersebut akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden (Perpres) setelah RUU tersebut disahkan oleh DPR.

Kami memandang, rencana pelibatan militer (TNI) dalam RUU pemberantasan tindak pidana terorisme sebenarnya tidak perlu dilakukan. Pelibatan militer dalam penanganan terorisme sesunguhnya sudah diatur di dalam UU TNI No 34 tahun 2004. Menurut pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI, militer dapat mengatasi terorisme dalam rangka tugas militer selain perang, jika ada keputusan politik negara. Sementara yang dimaksud dengan “keputusan politik negara” dalam penjelasan pasal 5 UU TNI adalah keputusan presiden dengan pertimbangan DPR. Dengan demikian landasan hukum untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sudah tegas diatur dalam UU TNI, sehingga tidak perlu diatur lagi di dalam RUU tindak pidana terorisme.

Pengaturan pelibatan militer dalam RUU pemberantasan tindak pidana terorisme adalah kurang tepat, karena UU pemberantasan tindak pidana terorisme adalah UU yang mengatur tentang tatacara penegakan hukum dalam mengatasi terorisme, sehingga yang perlu diatur dalam RUU itu adalah institusi-institusi terkait dengan penegakan hukum. Pelibatan militer di dalam RUU pemberantasan tidak pidana terorisme akan mengganggu sistem penegakan hukum dalam penanganan terorisme itu sendiri. Apalagi institusi militer saat ini tidak tunduk secara penuh dalam sistem negara hukum dimana militer belum dapat diadili dalam sistem peradilan umum.

Keinginan pemerintah dan DPR untuk mengatur rule of engagement dalam pelibatan militer untuk OMSP yang salah satunya adalah untuk mengatasi terorisme sepatutnya diatur dalam sebuah UU atau Peraturan Pemerintah tentang perbantuan/ pelibatan militer/ OMSP dalam rangka membantu tugas pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam TAP MPR No. 7 tahun 2000, UU No. 34/2004 tentang TNI dan UU No 2 tahun 2002 tentang Polri. Oleh karena itu kurang tepat jika pengaturan rule of engagemant pelibatan militer dalam tugas OMSP diatur dalam Perpres. Perpres seharusnya hanya dibentuk untuk menjadi pijakan teknis dalam pelibatan militer dalam OMSP sesuai dengan pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI, dimana Perppers tersebut bersifat teknis sehingga bukan merupakan prinsip dasar yang umum (RoE) yang menjadi rambu-rambu dalam menjalankan tugas OMSP TNI.

Jika Pemerintah dan DPR tentap memaksakan ingin mengatur pelibatan militer dalam revisi UU terorisme maka pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU TNI, dimana pelibatan militer dilakukan melalui keputusan politik negara. Selain itu, jika pelibatan milter akan diatur dalam RUU pemberantasan tindak pidana terorisme maka pada saat bersamaan DPR dan Pemerintah harus merevisi UU tentang Peradilan Militer No. 31 tahun 1997 untuk memastikan agar militer tunduk pada sistem negara hukum dalam hal ini sistem peradilan umum. Itu artinya jika militer terlibat dalam suatu tindak pidana maka harus diadili melalui sistem peradilan umum. Kami meminta agar panja RUU pemberantasan tindak pidana terorisme dapat menjaga keseimbangan antara civil liberty dan keamanan dalam revisi UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Imparsial, KontraS, ELSAM, HRWG, Lesperssi. SETARA Institute, YLBHI, LBH Jakarta, Institute Demokrasi, PBHI, LBH Pers.

CP
Al Araf (IMPARSIAL): 0813-8169-4847
Puri Kencana (KontraS): 0817-5455-229
Wahyudi Djafar (ELSAM): 0813-8208-3993