KTT ASEAN Gagal Menjawab Krisis Rohingya: Pemerintah Indonesia Harus Menjadi Pionir Dalam Mendorong Akuntabilitas HAM dalam Krisis Rohingya

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan memberi catatan kritis terhadap hasil  Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-31 Filipina pada tanggal 13-14 November 2017.  Kami menyesalkan pertemuan yang dihadiri oleh seluruh pemimpin pemimpin ASEAN dan beberapa pemimpin Negara lain tersebut tidak membahas secara menyeluruh mengenai peran dan resolusi ASEAN mengeni krisis Rohingya. Pertemuan lebih mengedepankan isu yang berkenaan dengan code of conduct Laut Cina Selatan, terbukanya kerjasama ekonomi baru dengan Rusia, ancaman terorisme, tekanan ancaman nuklir dari Korea Utara, dan juga kunjungan pertama dari para pemimpin baru di Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Persoalan krisis Rohingya tidak hanya milik Myanmar, persoalan ini adalah potret buruk situasi hak asasi manusia di ASEAN dan telah menjadi perhatian internasional.  Maka dari itu, prinsip non-intervensi patutnya dikesampingkan dalam penyelesaian krisis ini. ASEAN harus menjadi pionir dalam penyelesaian krisis ini untuk membuktikan legitimasi ASEAN di tataran internasional dan bukan hanya menjadi ajang selebrasi pertemuan kerjasama semu semata di regional ini.KTT ASEAN seharusnya dapat menjadi satu buah wadah konsolidasi untuk merekmendasikan beberapa resolusi konflik yang terjadi di Myanmar secara kolektif dan dilakukan bersama secara solid oleh para Negara anggota ASEAN.

Upaya pemerintah Indonesia dan Malaysia mengangkat isu tersebut dalam pertemuan tidak resmi KTT ASEAN nampaknya tidak memberikan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat dari pernyataan bersama KTT ASEAN ke-31 yang tidak memberikan secara detil mengenai situasi di Rakhine Utara, Myanmar. Khususnya persoalan mengenai Rohingya atas terjadinya persekusi terhadap kelompok minoritas Muslim. Dalam hal ini para peserta KTT ASEAN memenuhi permintaan Aung San Suu Kyi yang meminta secara langsung kepada para pemimpin Negara ASEAN untuk menghindari isu tersebut.

Kami menyesalkan hal tersebut diatas mengingat dalam persoalan ini Dewan Keamanan PBB sudah mengeluarkan pernyataan khusus mengenai 600,000 masyarakat Rohingya yang sudah kehilangan tempat tinggal (internally-displaced persons) di tanah air mereka sejak bulan Agustus lalu. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengklasifikasi tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap minoritas etnis Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Myanmar diduga telah melakukan tindakan represif dan berlebihan dalam meredam kekerasan yang terjadi di Rakhine. Prinsip-prinsip hak asasi manusia tidak diindahkan dalam pendekatan yang dilakukan pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan permasalahan di Rohingya, hal ini terbukti dengan penyerangan dan penembakan terhadap warga sipil yang jelas-jelas merupakan tindakan biadab dan tidak manusiawi.

Pemerintah Myanmar terikat oleh hukum internasional dan memiliki kewajiban untuk menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia dalam menyelesaikan masalah ini. Isu krisis di Myanmar tidak hanya merupakan perselisihan antar kelompok agama, serangan terorisme dan pemberontak. Masalah territorial menjadi salah satu titik mula permasalahan ini, namun seharusnya situasi krisis ini dapat diselesaikan oleh pemerintah dengan mekanisme dan standar internasional yang tersedia, dengan tidak menambahkan lebih banyak lagi kekuatan senjata atau keamanan di dalam teritori Rakhine.

Penting bagi pemerintah Indonesia untuk terus memainkan peran strategis dalam persoalan ini, diantaranya dengan melakukan intervensi humaniter dengan mekanisme Responsible to Protect (R2P) khususnya pilar pertama untuk mencegah terjadinya genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pembersihan etnis di Myanmar, khususnya terhadap masyarakat Rohingya.  hal ini penting dilakukan karena berbagai alasan, salah satunya berkenaan dengan penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar sampai hampir satu dekade.

Pernyataan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Myanmar untuk proses rekonsiliasi dan demokratisasi di ASEAN, dan upaya mendukung usaha untuk mengimplementasikan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Kofi Annan pada situasi terkait di Myanmar harus dilakukan secara substansial. Sebagai salah satu focal point di tataran organisasi regional ASEAN, Indonesia harus berusaha lebih keras untuk menjalin kerjasama dengan Negara anggota ASEAN lain dalam penyelesaian pelanggaran HAM dan krisis yang terjadi di Rakhine saat ini.

 

Berkenaan dengan hal-hal tersebut KontraS merekomendasikan ASEAN dan khususnya pemerintah Indonesia dalam penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rakhine Utara, diantaranya:

Pertama, meminta ASEAN untuk membuat satu buah Pertemuan Istimewa untuk membahas secara spesifik penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya, termasuk mengenai pertolongan humaniter, akses keadilan dan kekuatan alternatif untuk meredam konflik yang terjadi di daerah tersebut selain kekuatan militer yang represif.

Kedua, pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif untuk menyusun beberapa rekomendasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi kepada etnis Rohingya, termasuk penanganan kelompok minoritas Rohingya yang menjadi internally-displaced persons dan terbengkalai di beberapa pos transit pengungsi di beberapa Negara anggota ASEAN dan Australia.

Ketiga, pemerintah Indonesia harus segera meminta Negara Myanmar untuk menarik pasukan keamanan di Rakhine yang pada akhirnya menimbulkan ancaman dan rasa takut lebih lanjut terhadap etnis tersebut. Hal ini pula untuk meminimalisir potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rohingya.

 

CP: Fatia Maulidiyanti 081913091992