Merespons Pernyataan Hari HAM Presiden Joko Widodo: Jangan Hanya Sekadar Pengakuan Tanpa Langkah dan Kerja Nyata

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pernyataan Presiden RI Joko Widodo yang mengakui bahwa penegakan HAM termasuk penuntasan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu masih menjadi PR (pekerjaan rumah) pemerintah pada perayaan Hari HAM sedunia di Solo (10/12/2017),[1] tidak lebih sekadar bahasa diplomasi dan komunikasi politik untuk mendapat pemakluman dari publik.

Berkaitan dengan itu, pada hari yang sama KontraS juga mengeluarkan Catatan Hari HAM untuk membuka fakta kepada publik bahwa dalam realitasnya, KontraS justru melihat Presiden Joko Widodo tengah menyandera dirinya sendiri dalam menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu dengan mengangkat figur yang diduga terlibat dan bertanggungjawab atas sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu. Hal ini tentunya tidak lebih demi kepentingan stabilitas kekuasaan yang juga merupakan tujuan dari bentuk kompromi politik. Presiden Joko Widodo juga membiarkan Jaksa Agung dan Menkopolhukam mencari cara penyelesaian yang jauh dari prinsip keadilan bagi korban dan mengenyampingkan mekanisme hukum yang tersedia yang semestinya ditempuh oleh pemerintah.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa butuh kerja sama antara seluruh komponen baik pemerintah pusat dan daerah, maupun elemen masyarakat untuk menghadirkan keadilan HAM, keadilan sosial untuk masyarakat terkesan kontradiktif dengan nihilnya upaya konkret dari pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo justru tidak mau menggunakan otoritatifnya untuk mengambil langkah hukum dan politik. Sebagai contoh misalkan, Presiden Joko Widodo tidak mau menerbitkan Keputusan Presiden pembentukan membentuk Tim Pencarian Korban dan Pengadilan HAM kasus penghilangan paksa, yang jelas sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM dan DPR, Presiden Joko Widodo juga tidak mau memgumumkan hasil dokumen TPF Munir ke Publik serta tidak adanya pernyataan untuk memastikan Jaksa Agung bekerja sesuai koridor hukum untuk menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu.

Tidak berlebihan kiranya komitmen dan janji politik Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu yang dituangkan melalui nawa cita untuk ditagih kembali di sisa periode pemerintahannya dengan catatan bahwa Presiden Joko Widodo harus secara langsung dan memberikan perhatian khusus dalam pelaksanaannya. Beberapa hal yang harus dikerjakan oleh Presiden Joko Widodo –sebagaimana dalam banyak kesempatan telah KontraS sampaikan bahwa Presiden Joko Widodo harus segara mengambil langkah-langkah konkret dan implementatif, yaitu :

  1. Presiden segera membentuk Komite Kepresidenan yang secara normatif telah disebutkan di dalam RPJMN 2014-2019 sebagai solusi untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk mempermudah Presiden dalam mengambil kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal ini, KontraS ingin menegaskan bahwa proses pembentukan Komite Kepresidenan harus bersifat terbuka dan partisipatif yang melibatkan figur-figur yang berintegritas, berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak kredibel pada isu kemanusiaan. Komisi ini juga harus berada dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden;
  2. Presiden segera menerbitkan Keputusan Presiden Pembentukan Pengadilan HAM kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan membentuk tim pencarian korban penghilangan paksa sebagaimana telah diputuskan oleh DPR dalam rekomendasinya terhadap Presiden RI;
  3. Presiden harus segera mengevaluasi Jaksa Agung dan Menkopolhukam yang justru menjauhkan atau menutup penyelesaian kasus kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu, serta memerintahkan Jaksa Agung untuk menyelesaikan penyidikan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu;
  4. Presiden Joko Widodo menghentikan segala macam bentuk upaya-upaya yang melenceng pada tujuan pemenuhan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan berlandaskan konstitusi, salah satunya  menolak pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang diusulkan oleh Menkopolhukam, Wiranto untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;
  5. Presiden mendukung KKR Aceh yang tengah berjalan dalam bentuk kebijakan hukum dan politik, yang seharusnya saat ini bisa menjadi ruang bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam menuntaskan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu.

Terakhir, tanpa langkah konkret dan implementatif dalam rangka menggunakan kewenangannya, Presiden Joko Widodo lagi-lagi hanya sekadar menempatkan HAM pada kertas pidato yang dibacakan di setiap peringatan Hari HAM sedunia atau bahkan janji yang disampaikan dalam agenda-agenda kampanye politik. Pernyataan bahwa penegakan HAM “masih menjadi PR pemerintah” termasuk pelanggaran HAM masa lalu, tidak akan pernah berubah tanpa adanya langkah dan kerja nyata dari Presiden Joko Widodo, sebagaimana slogan yang sering disampaikannya.

Jakarta, 11 Desember 2017.
Badan Pekerja KontraS,

 

Yati Andriyani
Koordinator