Pelaporan Dugaan Maladministrasi Deklarasi Damai Talangsari Lampung ke Ombusman

Hal      : Pengaduan atas Dugaan Maladministrasi yang dilakukan oleh Tim Terpadu Gabungan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Timur dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung

 

Lampiran: 1 (Satu) Kopi dokumen Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung

Kepada Yang Terhormat,

Ketua Ombudsman Republik Indonesia

Bapak Amzulian Rifai

Di –

Tempat

Dengan hormat,

Korban dan Keluarga Korban Talangsari Lampung didampingi oleh Amnesty Internasional Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK), Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama ini melaporkan beberapa instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang terlibat dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pelaporan ini kami buat karena kami menduga telah terjadi perbuatan Maladministrasi oleh instansi-instansi yang terlibat sebagai pihak dalam Deklarasi Damai tersebut yang antara lain adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Timur, dan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur.

Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut berkenaan dengan kesepakatan damai melalui sebuah deklarasi yang bersifat tidak akuntabel dan menggunakan pendekatan non-judisial serta terkesan sebagai upaya menghindari kewajiban dalam pemenuhan hak bagi korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung.

Padahal, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia untuk peristiwa Talangsari Lampung pada tanggal 1 Mei 2007 sampai dengan 31 Juli 2008 yang menyimpulkan bahwa telah terdapat bukti yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Talangsari 1989 dalam bentuk:

  • Pembunuhan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM). Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebanyak 130 (seratus tiga puluh) orang;
  • pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf d UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Penduduk sipil yang menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara palsa sebagai akibat dari tindakan operasi yang dilakukan oleh aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) orang;
  • perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf e UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Penduduk sipil yang menjadi korban perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan secara fisik secara sewenang-wenang sebagai akibat operasi yang dilakukan aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebanyak 53 (lima puluh tiga) orang.
  • Penyiksaan (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf f UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Penduduk sipil yang menjadi korban penyiksaan sebagai akibat operasi yang dilakukan  aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebanyak 46 (empat puluh enam) orang.
  • penganiayaan (persekusi) terhadap penduduk sipil (Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf h UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Penduduk sipil yang menjadi korban penganiayaan (persekusi) sebagai akibat operasi yang dilakukan aparat negara setidak-tidaknya tercatat sebanyak 229 (dua ratus dua puluh sembilan) orang.

Perbuatan seperti diuraikan di atas merupakan bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa. Karena perbuatan tersebut juga dilakukan secara meluas dan sistematis, maka bentuk-bentuk perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)

Langkah Deklarasi Damai tersebut berawal dari eksistensi Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang diinisasi oleh Kemenko Polhukam berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh Menko Polhukam, Wiranto (30/7/2018) seperti dilansir dalam laman https://www.antaranews.com/berita/731488/tim-gabungan-terpadu-dibentuk-usut-pelanggaran-ham. Tim Terpadu tersebut terdiri dari Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, Kemenkumham dan Polri dan bertujuan untuk membedah satu persatu hambatan dalam proses penuntasan pelanggaran HAM Berat yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung[1].

Deklarasi Damai dugaan kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung yang dilakukan pada tanggal 20 Februari 2019 silam juga difasilitasi oleh perwakilan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat dari Kemenko Polhukam dan Kemenkumham. Deklarasi Damai tersebut memuat beberapa poin kesepakatan yang kontradiktif dengan tujuan Tim Terpadu sendiri dalam membedah hambatan penuntasan pelanggaran HAM berat. Dimana Poin-poin tersebut adalah menyatakan bahwa masyarakat melalui wakilnya di DPRD tidak akan memperpanjang kasus ini sebagaiman disampaikan juga oleh Ketua DPRD Lampung Timur, Ali Johan Arief  (20/2/2019) sebagaimana dilansir dalam laman http://m.harianmomentum.com/read/14115/pemkab-lamtim-siap-penuhi-hak-korban-talangsari yang mengatakan bahwa kasus Talangsari dilihat dari sudut pandang politik sudah tidak ada lagi permasalahan. Poin lainnya adalah bahwa para pelaku, korban dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tersebut tidak diungkap kembali.

Kami menilai bahwa deklarasi damai tersebut berikut poin-poin hasilnya memenuhi dugaan bahwa telah terjadi tindakan Maladministrasi merujuk pada Pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman: “Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan “.

Berdasarkan peraturan perundang – undangan tersebut, kami menduga telah terjadi Maladministrasi dalam bentuk:

  1. Dugaan perbuatan melawan hukum dalam bentuk lahirnya kebijakan yang bertentangan dengan hukum;
  2. Dugaan perbuatan yang melampaui wewenang dan menggunakan wewenang untuk tujuan lain; serta
  3. Dugaan pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik hinggan menimbulkan kerugian

Hal-hal tersebut sebagaimana kami uraikan sebagai berikut:

  1. Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung Bertentangan dengan Kewajiban Hukum Negara dalam Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat

 

  1. Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Tahun 2002 menyatakan“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Begitu pula Pasal 28I ayat (5) yang menegaskan cita-cita bangsa Indonesia yakni “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.”
  1. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
  1. Bahwa hasil Penyelidikan kasus Talangsari Lampung tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan melakukan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 21 dan 23 UU 26 Tahun 2000). Faktanya, sejak tahun 2002 Jaksa Agung menolak menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM ke tahap Penyidikan dan Penuntutan melalui Pengadilan HAM dengan alasan bahwa Komnas HAM telah meneruskan hasil penyelidikan Talangsari tersebut kepada DPR RI, maka Kejaksaan Agung menunggu sampai terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Alasan ini tidak sesuai dengan alur mekanisme proses hukum berdasar UU No. 26 Tahun 2000, karena rekomendasi pembentukan oleh DPR RI baru bisa keluar setelah adanya upaya penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu.
  1. Bahwa merujuk pada pertimbangan Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung, khususnya poin pertama mengenai tidak memperpanjang kasus ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Timur Nomor. 170/3/2/XII/SK/DPRD-LTM/2000 Tentang Peristiwa Talangsari Way Jepara Kabupaten Lampung Timur tidak mempunyai unsur mengikat secara hukum dan cacat secara formil dan materiil. Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara SK yang dikeluarkan oleh DPRD Lampung Timur tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Dalam syarat formil sebuah KTUN, SK ini tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang relevan mengenai keterlibatan pemerintah daerah dalam penuntasan pelanggaran HAM berat. SK ini tidak mencantumkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang merupakan sumber utama dalam konteks HAM dan juga UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD sudah batal secara hukum karena sudah digantikan oleh UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Setelah itu, SK ini tidak bersifat konkrit, individual dan final. Dan terakhir, SK ini tidak menimbulkan akibat hukum. Sehingga kesimpulannya adalah SK mengenai Peristiwa Talangsari ini tidak memenuhi syarat formil sebuah KTUN. Selain syarat formil, syarat materiil juga tidak berhasil dipenuhi oleh SK ini. Hal ini dikarenakan SK ini mengakibatkan tumpang tindih dengan kewenangan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, DPR RI dan Presiden sebagai institusi yang mempunyai legalitas sesuai mandat UU 26/2000 tentang pengadilan HAM sebagai pihak yang berwenang dalam penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
  1. Bahwa berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu tidak berkenaan dengan alasan legal formal semata tetapi lebih karena hambatan politik, yakni ketiadaan kemauan politik pemerintah menyelesaikan masalah ini sesuai dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak korban (Kebenaran; Keadilan; Pemulihan dan Jaminan Ketidakberulangan) sebagaimana diatur dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation dan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan), Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985.
  1. Bahwa sebagai negara hukum, pemerintah seharusnya memastikan, mendorong dan menjamin penegakan hukum serta kebijakan politik yang dapat menyelesaian perkara pelanggaran HAM secara berkeadilan, bukan sebaliknya justru Deklarasi Damai ini mengambil kebijakan yang dapat menutup pemenuhan hak-hak para korban dan keluarga korban Talangsari Lampung.
  1. Bahwa berdasarkan uraian di atas, sikap pihak-pihak yang terlibat dalam Deklarasi Damai yakni perwakilan Tim Terpadu Gabungan dari Kemenko Polhukam dan Kemenkumham serta Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan DPRD Lampung Timur memutuskan secara sepihak menempuh cara damai dalam penuntasan pelanggaran HAM berat Talangsari Lampung telah bertentangan dengan kewajiban penegakan hukum, jaminan kepastian hukum, dan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.
  1. Bahwa hasil Deklarasi Damai tersebut tidak mempunyai legitimasi hukum karena bukan merupakan produk hukum yang mengikat pihak-pihak yang menandatangani, selain itu, deklarasi damai ini tidak berarti menghentikan kewajiban negara untuk melakukan penyelesaian secara hukum dan juga pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban Talangsari Lampung
  • Tindakan Kemenko Polhukam. Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan DPRD Lampung Timur Dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Melampaui Wewenangnya dan Menggunakan Wewenang untuk Tujuan Lain

  1. Bahwa kewenangan pihak-pihak yang menandatangani Deklarasi Damai tersebut yakni Perwakilan Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat yang diwakili oleh Kemenko Polhukam dan Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Lampung Timur dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM berat tidak diatur oleh peraturan hukum apapun.
  1. Bahwa kewenangan Kemenko Polhukam diatur dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
  1. Bahwa berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan dalam poin 2 tersebut, Kemenko Polhukam memiliki kewenangan bersifat koordinasi, dan oleh karenanya tidak dapat merumuskan kebijakan terkait penyelesaian pelanggaran HAM.
  1. Bahwa kewenangan Kemenkumham diatur dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2015 tengan Organisasi Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
  1. Bahwa berdasarkan kedua peraturan tersebut di atas, Kemenkumham tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Kewenangan Kemenkumham sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No. 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam bidang HAM hanya sebatas perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pemajuan HAM. Oleh karenanya, Kemenkumham tidak cakap untuk terlibat dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM berat dan melampaui kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam kedua peraturan tersebut di atas.
  1. Bahwa kewenangan Pemerintah Kabupaten diatur berdasarkan UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah.
  1. Bahwa berdasarkan UU tersebut di atas, tidak terdapat kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di wilayah administrasinya. Oleh karenanya, keterlibatan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur yang dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari tersebut diwakili oleh Wakil Bupati tidak cakap dan melampaui kewenangan.
  1. Bahwa kewenangan DPRD diatur berdasarkan UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah.
  1. Bahwa berdasarkan UU tersebut di atas, kewenangan DPRD hanya sebatas yang diberikan pada Pasal 154 UU A quo. Tidak terdapat kewenangan khusus untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM berat di lingkup wilayahnya, sehingga keterlibatan DPRD Lampung Timur dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari adalah melampaui kewenanangan sebagaimana diatur dalam UU.
  1. Bahwa Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, dimana Undang-Undang tersebut hanya memberi wewenang kepada Komnas HAM (Sebagai penyelidik berdasarkan pasal 18 ayat (1) UU a quo), Kejaksaan Agung (sebagai Penyidik dan Penuntut berdasarkan pasal 21 dan 23 UU a quo) , DPR RI memberikan usulan atau rekomendasi kepada Presiden dan kemudian Presiden mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal 43 ayat (2).
  1. Bahwa sebagai penyelidik, segala praktik politik—dengan alasan apapun: kurang alat bukti dan sebagainya—adalah diluar kewenangan hukum institusi negara lain dan mengingkari dasar hukum kewenangan kerja lembaga tersebut dalam perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat.
  1. Bahwa berdasarkan hal tersebut Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan DPRD Lampung Timur tidak berwenang memutuskan secara sepihak pendekatan damai atau non-judisial dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat untuk kasus Talangsari yang telah diselidiki secara hukum melalui Penyelidikan Pro-Justisia oleh Komnas HAM.
  1. Bahwa Jenderal TNI (Purn.) Wiranto adalah salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Nama Wiranto disebutkan di dalam laporan Komnas HAM sendiri: seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, Semanggi I-II, Mei 1998, Penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998, dan Biak Berdarah. Tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat  Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa “Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.” Pernyataan lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan Wiranto bergerak masuk dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) di tahun 2003. Selain itu pada masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Wiranto juga dipecat dari jabatan Menko Polhukam, karena dugaan keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
  2. Bahwa berdasarkan sejumlah laporan di atas, patut diduga kebijakan politik yang dipimpin oleh Kemenko Polhukam dalam menginisiasi Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat dalam konteks Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari merupakan agenda cuci tangan, melanggengkan impunitas dan menghindari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
  3. Bahwa berdasarkan uraian di atas maka patut diduga kebijakan pendekatan Deklarasi Damai yang digagas untuk penuntasan kasus Talangsari Lampung oleh Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan DPRD Lampung Timur adalah bentuk penggunaan kewenangan yang digunakan untuk kepentingan atau tujuan lain. Dalam hal ini kebijakan yang diambil oleh keempat institusi negara tersebut tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014. Terutama asas “tidak menyalahgunakan kewenangan” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

 

 

  • Tindakan Kemenko Polhukam. Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan DPRD Lampung Timur Dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Menimbulkan Kerugian

  1. Bahwa kebijakan rekonsiliasi sepihak dengan konsep yang tidak jelas memunculkan banyak pertanyaan apa yang akan direkonsiliasikan, siapa yang dimaafkan dan memaafkan apabila tidak ada mekanisme hukum pengungkapan kebenaran yang bekerja terlebih dahulu.
  1. Model Rekonsiliasi yang tidak jelas dan tidak didasarkan pada pemenuhan hak korban akan keadilan, kebenaran dan pemulihan akan merugikan korban dan keluarga korban yang telah berjuang selama 13 tahun terahir. Upaya mendapatkan hak para korban atas kepastian hukum serta mengetahui kebenaran yang telah dilakukan justru berpotensi ditutup dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap impunitas dengan cara-cara pendekatan Rekonsiliasi yang tidak jelas alas hukum, arah dan cara bekerjanya.
  2. Bahwa sebagai korban pelanggaran HAM berat, korban dan keluarga korban Talangsari Lampung berhak untuk mendapatkan upaya reparasi. Yakni rehabilitasi, restitusi dan kompensasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adanya deklarasi damai ini tidak akan memenuhi pemulihan korban, sehingga korban dan keluarga korban Talangsari jelas mendapatkan kerugian dari adanya deklarasi damai ini.

 

  1. Rekomendasi kepada Ombudsman

Bahwa berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan tugas dan kewenangan Ombudsman, kami mendorong Ombudsman untuk segera:

Pertama, menindaklanjuti laporan ini dengan dengan memberikan rekomendasi evaluatif terhadap Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, DPRD Lampung Timur terhadap pendekatan Deklarasi Damai Dugaan Pelanggaran HAM Berat Talangsari yang berpotensi bertentangan secara hukum, melampaui wewenang dan merugikan korban dan keluarga korban.

Kedua, merekomendasikan keempat lembaga tersebut untuk mematuhi seluruh mekanisme hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, mendorong lahirnya keputusan atau kebijakan politik yang akuntabel, transparan dan pro terhadap keadilan, pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban.

Ketiga, menghitung biaya yang dikeluarkan untuk rangkaian tindakan yang diduga Maladministrasi a quo dengan asumsi telah terjadi pemborosan atau penggunaan uang negara secara tidak layak.

Keempat, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi Ombudsman kepada publik.