Catatan Hari Bhayangkara Ke-73: Netralitas, Diskresi, dan Kultur Kekerasan Masih Menjadi Tantangan Polri

Catatan Hari Bhayangkara Ke-73

Netralitas, Diskresi, dan Kultur Kekerasan Masih Menjadi Tantangan Polri

Bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-73, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan catatan mengenai akuntabilitas Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk periode Juni 2018 – Mei 2019. Laporan ini disusun berdasarkan pada pemantaun dan advokasi yang dilakukan oleh KontraS, sebagai bagian dari partisipasi masyarakat sipil dalam mendorong akuntabilitas Polri menjalankan tugas dan fungsinya; memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI). Laporan ini menggunakan parameter hak asasi manusia, kebijakan dan peraturan perundang – undangan, termasuk Peraturan Kapolri (PerKap)

Laporan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan penilaian yang komprehensif untuk keseluruhan kinerja institusi kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya.  Laporan ini akan dibatasi dalam tiga hal terkait kepolisian: pertama, polisi sebagai salah satu agensi utama dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam bagian pertama ini, laporan ini secara khusus memotret keterlibatan aparat kepolisian dalam praktik-praktik penyiksaan, miscarrages of justice dan kesewenang-wenangan dalam menafsirkan dan menggunakan diskresi; kedua, polisi sebagai pemelihara keamanan, ketertiban (public order) dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam bagian kedua ini, laporan ini secara khusus memotret penggunaan kekuatan (the use of force) dan instrumen kekerasan (termasuk senjata api) oleh kepolisian dalam penanganan ekspresi-ekspresi warga dalam peristiwa-peristiwa unjuk rasa, demonstrasi, rapat akbar, dan bentuk-bentuk ekspresi lainnya; ketiga, terkait dengan kinerja lembaga pengawas internal dan eksternal dalam menjalankan fungsi korektif atas tindakan dan kebijakan institusi kepolisian yang tidak sesuai ketentuan.

Temuan laporan ini mencatat; pertama, sedikitnya telah terjadi 643 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian—mulai dari tingkat Polsek hingga Polda—dengan beragam tindakan, seperti penembakan, penyiksaan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka dan tewas[1]. Kedua, penggunaan kewenangan dan diskresi oleh anggota Polri dengan menggunakan kekerasan dalam penanganan kasus atau proses penegakan hukum, serta ketiga pengawasan yang lemah oleh pihak internal maupun eksternal kepolisian.

Situasi di atas memperlihatkan POLRI dihadapkan pada situasi yang disebut sebagai the paradox of institutional position. Aparat polisi bisa memiliki ruang yang besar untuk menjaga keamanan (human rights protector), namun sifat dari keistimewaan ini kerap membuat unsur kewenangan dan kekuasaan diterjemahkan sepihak dan disalahgunakan, sehingga menghasilkan pelanggaran HAM. Polisi dalam skenario kedua dapat menjadi human rights violator.

Paradoks semacam ini pada umumnya dijawab dengan diskresi (kewenangan untuk menafsirkan situasi, kebijakan dan tindakan apa yang tepat dan harus untuk diambil) yang diikuti dengan prasyarat normatif: mulai dari ukuran proporsionalitas, mengukur tindakan berdasarkan kebutuhan mendesak, legalitas hukum, beralasan, dan akuntabilitas. Skenario di atas akan KontraS uji pada beberapa situasi dan implementasi kebijakan penegakan hukum di Indonesia yang belakangan ini mengalami pasang surut karena peristiwa yang terjadi di tingkat nasional sampai ke tingkat daerah.

Berkenaan dengan hal tersebut, KontraS memberikan catatan kritis mengenai:  Pertama, kewenangan Polri dalam menafsirkan diskresi yang berujung pada munculnya korban karena tidak adanya ukuran maupun batasan penggunaan diskresi tersebut. Kedua, meninjau kembali minimnya efektivitas dan dampak dari fungsi pengawasan internal dan eksternal atas kinerja kepolisian.

[1] Kasus-kasus terlampir dalam laporan

 

laporan utuh bisa diakses di sini