Hentikan Praktik Perampasan Tanah dan Segera Cabut Izin Tambang Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara

Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FRSBW), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Forest Watch Indonesia (FWI) dan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui Gubernur, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri ESDM, Menteri KKP untuk mencabut dan membatalkan semua perizinan pertambangan dan perizinan pendukung lainnya seperti perizinan lingkungan, AMDAL, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan hingga perizinan pelabuhan angkut bahan tambang di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Desakan ini juga kami sampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan korupsi perizinan pertambangan maupun tata ruang hingga lingkungan dan kehutanan yang terlibat dalam penyalahgunaan kewenangan hingga konflik kepentingan terkait pertambangan di pulau kecil ini.

Hal ini disampaikan mengingat tensi konflik antara masyarakat penolak tambang dengan perusahaan tambang makin memanas. Pada tanggal 9 Juli 2019 di kelurahan Roko-Roko Raya, Wawonii, warga yang didominasi kelompok ibu-ibu melakukan penghadangan alat berat yang akan mulai menggusur lahan-lahan warga. Seorang ibu tersebut menolak keras aktivitas masuknya alat berat pertambangan nikel yang diduga milik perusahaan PT Gema Kreasi Perdana yang menerobos paksa dengan dikawal aparat kepolisian di lahan warga (Video terlampir).

Di sisi lain, PT GKP merupakan salah satu perusahaan yang dibekukan IUP nya oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara atas pertimbangan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWPPPK).

Karena itu FRSBW, JATAM, FWI dan KontraS menyatakan bahwa semua operasi pertambangan di atas pulau kecil adalah pelanggaran hukum atas Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang tidak menempatkan Pertambangan sebagai pilihan pembangunan di wilayah dengan daya dukung dan ekosistem yang khas seperti di pulau kecil ini.

Juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (30), (31), (32), (33), (34), (35) dan (36) di Undang-Undang tersebut, dalam Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, masyarakat merupakan pemangku utama dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Selanjutnya dalam pasal 60 menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang jika ditemukan perencanaan dan aktivitas yang merugikan warga. Karena itu aspirasi warga mesti diakui apalagi setelah setelah rentetan konflik berdarah akibat dari diabaikannya aspirasi warga sebagai pemangku utama wilayah pulau kecil dan pesisir melalui puluhan kali demonstrasi yang dilakukan oleh warga di pulau wawonii bersama mahasiswa hingga mencapai puncaknya pada Maret-April 2019 lalu, saat lebih dari tiga minggu aksi pendudukan di depan kantor Gubernur Sultra yang berujung pada tindakan represif dan kekerasan aparat Negara pada massa aksi.

FRSBW, JATAM, FWI, dan KontraS menganggap bahwa Gubernur Sultra telah berbohong dan menyalahi komitmen yang telah disampaikannya kepada publik pada 14 Maret 2019 lalu yang di antaranya memuat poin tentang mencabut dan menghentikan seluruh izin pertambangan yang berada pada Pulau Wawonii. Nyatanya, gubernur hanya mencabut 9 dari 16 izin tambang Wawonii, itu pun hanya izin-izin tambang yang sudah habis masa berlakunya. Sedangkan 6 izin lainnya yang dibekukan sementara, tanpa mengikuti format penghentian sementara yang sah yang diatur undang-undang. Kini 6 izin yang telah dibekukan akan beroperasi lagi dan sudah mulai kembali masuk ke Wawonii, mendatangkan karyawan dan alat berat, diduga di-backing pemerintah provinsi dan kepolisian. Hingga saat ini alat berat sudah mulai sudah masuk ke lahan-lahan warga, merampas tanah warga dengan melanggar mekanisme penyelesaian hak atas tanah warga karena warga menolak kehadiran tambang.

Sembilan izin yang telah dicabut karena habis masa berlaku tersebut adalah PT Hasta Karya Megacipta, PT Cipta Puri Sejahtera, PT Investa Kreasi Abadi, PT Natanya Mitra Energi, PT Derawan Berjaya Mining, PT Derawan Berjaya Mining, PT Pasir Berjaya Mining, PT Cipta Puji Sejahtera dan PT Kharisma Kreasi Abadi. Kemudian satu izin dikembalikan pada kementerian ESDM yaitu PT Derawan Berjaya Mining, serta enam izin lainnya dihentikan sementara yaitu PT Gema Kreasi Perdana, PT Gema Kreasi Perdana, PT Alotma Karya, PT Konawe Bakti Pratama, PT Kimco Citra Mandiri, PT Bumi Konawe Mining.

Dari penelusuran dokumen 6 perusahaan tambang yg kini mulai beroperasi lagi tersebut, JATAM menemukan sejumlah nama purnawirawan Jendral Kepolisian, elit politisi dan pengusaha yang memiliki pengaruh kuat, salah satunya Brigjend (Purn) Parasian Simanungkalit. Nama lain yang muncul adalah Donald Johnny Hermanus yang menjabat sebagai direktur di PT Bumi Konawe dan PT Multi Harita Karya Mineral sekaligus juga Komisaris PT Gema Kreasi Perdana. Ini diduga melanggar pasal mengenai monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam UU No 5 Tahun 1999 karena menjabat direktur di dua perusahaan tambang secara bersamaan.

Jika IUP PT GKP masih dalam status diberhentikan, maka aktivitas dari PT GKP adalah ilegal dan penjagaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian turut melindungi dan melanggengkan praktik ilegal tersebut. Sudah semestinya Kapolri memerintahkan Kapolda untuk melakukan evaluasi terhadap anggota-anggotanya yang melakukan backing terhadap pertambangan ilegal, khususnya di Pulau Wawonii.

Karena itu melalui rilis ini, FRSBW, JATAM, FWI dan KontraS menyerukan kepada Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Konawe Kepulauan untuk menarik mundur semua aparat Kepolisian diberbagai level yang terlibat dalam mendukung operasi tambang yang tidak sah dan melanggar hukum ini.

Kami juga mendesak Komnas HAM, Ombudsman, dan Kompolnas untuk segera melakukan turun penyelidikan dugaan pelanggaran HAM atas tindakan kepolisian dan perusahaan tambang yang telah memaksa merampas lahan-lahan warga.

FRSBW, JATAM, FWI dan KontraS juga mendesak Menteri LHK untuk mencabut izin pinjam pakai kawaasan hutan yang cacat prosedur dan cacat substantif karena diterbitkan di pulau kecil yang justru menjadi pintu masuk bagi perusahaan tambang untuk beroperasi; juga Izin lingkungan hidup dan AMDAL yang menyertai enam perusahaan tambang ini juga patut diselidiki karena diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam urusan lingkungan hidup dengan melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.

Tidak hanya itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak seharusnya melayani perizinan pelabuhan pengangkutan pertambangan sehingga evaluasi juga harus dilakukan segera. Kementerian ESDM harus melakukan koordinasi pencabutan izin tambang di Pulau Wawonii, karena selain melanggar UU juga rekomendasi bupati dan DPRD Konawe Kepulauan juga telah dikeluarkan untuk menolak operasi tersebut (Surat Rekomendasi Bupati dan DPRD terlampir), karena itu sudah tidak ada lagi alasan mempertahankan operasi pertambangan di pulau kecil ini.

Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FRSBW), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), Forest Watch Indonesia (FWI)