Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional; “21 Tahun, Lalu Apa? Mereka Masih Hilang!”

Press Release

Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional:
“21 Tahun, Lalu Apa? Mereka Masih Hilang!”

Sudah lebih dari dua dekade, hari-hari keluarga korban penghilangan paksa diisi dengan penantian panjang dalam ketidakpastian. Hari demi hari kian memburuk, karena keluarga korban terus menunggu tanpa adanya kejelasan atau informasi apapun selama puluhan tahun. Keluarga korban berada dalam “penjara ketidaktahuan” atas apa yang terjadi pada anak, orang tua atau pasangan yang mereka cintai. Keluarga korban melewati hari dengan bertanya dalam diam tentang nasib dan keberadaan orang yang dihilangkan dan dipisahkan secara fisik dari mereka.

Merawat ingatan secara kolektif menjadi sangat penting sebagai bentuk dukungan moral kepada keluarga korban. Untuk itu, sejak 2011, 30 Agustus ditetapkan sebagai Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peringatan ini diciptakan sebagai pengingat masyarakat dunia bahwa pernah terjadi kejahatan penghilangan orang secara paksa di berbagai negara. Selain itu, peringatan ini bertujuan menarik perhatian masyarakat dunia untuk terus mempertanyakan nasib orang-orang yang dihilangkan secara paksa.

Dalam konteks di Indonesia, kasus penghilangan orang secara paksa terjadi di beberapa daerah selama kurun waktu pemerintahan militeristik Orde Baru dan bahkan terjadi ketika masa reformasi. Tercatat pada peristiwa pembantaian 1965/1966 terdapat puluhan ribu orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Di Aceh, pada periode DOM, Pasca DOM dan juga Darurat Militer terdapat ribuan orang menjadi korban penghilangan paksa. Bergeser ke Lampung, tahun 1989, peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari dicatat oleh Komnas HAM juga terdapat tindakan penghilangan orang secara paksa. Pada tahun 1982 – 1985, praktik penumpasan bromocorah dan gali diluar prosedur hukum disebutkan Komnas HAM terdapat 23 orang hilang dan tidak diketemukan keberadaannya. Tahun 1984, ketika pecah peristiwa Tanjung Priok, Komnas HAM juga mencatat 23 orang menjadi korban penghilangan secara paksa. Pada puncak demonstrasi pro demokrasi tercatat 23 orang menjadi korban penghilangan paksa, yang 13 orang lainnya masih hilang hingga kini. Di wilayah timur, yaitu Papua, Komnas HAM menyebutkan 5 orang menjadi korban penghilangan paksa saat peristiwa Wasior tahun 2001.

Berbagai bentuk penghilangan paksa yang dijelaskan di atas belum mampu ditangani oleh negara. Sejak bergulirnya reformasi 21 tahun yang lalu, yang harusnya dimaknai sebagai titik balik negara untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, nyatanya tidak ada sama sekali kebijakan negara untuk segera melakukan penuntasan kasusnya. Modalitas paling utama untuk menjalankan agenda di atas terdapat pada rekomendasi Panitia Khusus untuk Kasus Orang Hilang tahun 1997/1998 yang dibentuk DPR RI pada tahun 2009. Rekomendasi tersebut berisikan 4 poin yang ditujukan pada Presiden dan Pemerintah. Poin pertama berisi Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997/1998. Poin kedua berisi Presiden harus membentuk tim pencarian 13 orang aktivis yang masih hilang. Poin ketiga, Pemerintah perlu memberikan reparasi kepada keluarga korban penghilangan orang secara paksa dan poin terakhir soal Pemerintah harus segera melakukan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Tindak Penghilangan Paksa.

Untuk itu, berdasar modalitas yang disebutkan diatas, KontraS, Amnesty Internasional Indonesia dan IKOHI mendesak pemerintah supaya;

  1. Menjalankan 4 (empat) rekomendasi DPR secara parsial dan/atau secara kumulatif;
  2. Menjamin bahwa semua orang yang terduga sebagai pelaku dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus penghilangan paksa tidak dapat menduduki jabatan publik yang secara strategis;

 

“Presiden terus Berganti, tetapi Keluarga Masih Harus Menanti dengan Tidak Pasti”

Jakarta, 30 Agustus 2019

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty Internasional Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)