Hasil Pemeriksaan Propam, enam Polisi Sulawesi Tenggara Dikenai Sanksi Disiplin: Harusnya Penembak Mahasiswa Dipidana!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan minimnya akuntabilitas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara dalam penegakan hukum untuk kasus meninggalnya 2 (dua) orang mahasiswa Universitas Halu Oleo bernama Alm. Randi (21) dan Alm. Muh. Yusuf Kardawi (19) saat melakukan unjuk rasa menolak pengesahan revisi UU KPK, RKUHP, dan sejumlah legislasi bermasalah lainnya di depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, pada 26 September 2019. Sebelumnya, Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Pol Iriyanto telah mengonfirmasi bahwa korban atas nama Randi meninggal karena luka tembak.

Keputusan Polda Sulawesi Tenggara yang hanya menjatuhkan sanksi karena pelanggaran kode etik  kepada  6 (enam) orang anggota kepolisian, tanpa segera diikuti dengan pemeriksaan pidana terhadap terduga pelaku dan penanggungjawab penembakan menunjukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkesan sedang melindungi terduga pelaku penembakan dan penanggungjawab komando dalam pengamanan aksi yang mengakibatkan terjadinya penembakan dan jatuhnya korban jiwa. Dalam hal ini, putusan sidang etik ini tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa penembakan yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa korban.

Akibatnya, hingga kini tidak terungkap siapa pelaku yang diduga melakukan penembakan dan kekerasan hingga jatuhnya korban saat aksi di Kendari tersebut. Kami khawatir bahwa ketiadaan akuntabilitas dan transparansi dari aparat kepolisian dalam kasus ini akan membuat penyelesaian kasus semakin kelam, seperti yang terjadi pada peristiwa tewasnya 9 (sembilan) orang pada saat peristiwa Aksi 21-23 Mei di Jakarta, yang hingga saat ini tidak berhasil mengungkap siapa pelaku penembakan tersebut.

Berkenan dengan hal- hal tersebut di atas kami memandang bahwa;

Pertama, Polda Sultra tidak menunjukkan akuntabilitas dan transparasinya dalam mengungkap peristiwa penembakan karena tidak menyebutkan peran dari masing-masing pelaku dalam melakukan pelanggaran kode etik yang dimaksud, namun hanya sebatas membawa senjata api dalam penanganan aksi.

Kedua, sanksi administratif tersebut juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penggunaan senjata api yang dilakukan oleh kepolisian. Praktik ini tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan terkait dengan penyalahgunaan senjata api dan kekerasan yang diduga mengakibatkan meninggalnya korban

Ketiga, mekanisme sidang disiplin dan kode etik Polri tidak menghapuskan tuntutan pidana. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Polri jo. Pasal 28 ayat (2) Perkap 14/2011 tentang Kode Etik Polri yang menyatakan bahwa penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami  kembali mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara jika ditemukan adanya bukti yang cukup telah terjadi penyalahgunaan senjata api yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, maka sudah sudah seharusnya proses penyelidikan dan penyidikan pidana kasus ini harus segera dilakukan Polda Sulawesi Tenggara. Dan lembaga-lembaga independen negara harus pro aktif mengawasi Kepolisian dalam penanganan kasus ini

Jakarta, 31 Oktober 2019

Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani

Koordinator