Menemukan Pola Pembatasan Kebebasan Berkumpul

Tantangan global seperti ancaman keamanan, ketidakstabilan politik, institusi politik dan pemerintahan yang rapuh, perpecahan etnis dan agama, kebangkitan ideologi fundamentalis, ekonomi yang tidak stabil, kondisi iklim yang keras, pemilih yang terpolarisasi, ketimpangan dan diskriminasi, pembatasan akses terhadap keadilan, dan konflik bersenjata adalah faktor – faktor yang berkontribusi terhadap pembatasan hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat di wilayah tersebut.  Hal itu juga yang menjadi alasan kualitas kebebasan berkumpul menjadi salah satu topik problematik yang membayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum, terutama di Indonesia.

Isu ini merupakan isu fundamental yang rentan mendapatkan tantangan untuk ditegakkan karena peristiwa pembatasan kebebasan berkumpul pasca reformasi cenderung berulang seperti prareformasi. Negara, melalui pihak kepolisian, kerap menolak menerbitkan tanda terima pemberitahuan kepada pengunjung rasa dengan berbagai alasan, seperti melanggar ketertiban umum atau mengganggu stabilitas keamanan. Padahal, kebebasan berkumpul tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan demonstrasi atau pawai besar menyusuri jalan terbesar di ibukota yang dipimpin oleh seorang aktivis. Kebebasan berkumpul merupakan sarana penting karena melalui kebebasan tersebut publik dapat mengekspresikan pandangan mereka kepada siapapun, seperti kebijakan negara atau pejabat publik. Kebebasan berkumpul mendukung terwujudnya keragaman publik dan salah satu alat yang tepat untuk mencapai perubahan dalam masyarakat.

Terhitung sejak 2015 hingga 2018, KontraS mendokumentasikan 1.056 peristiwa dari seluruh provinsi di Indonesia yang menyangkut berkumpul berkumpul secara damai. Dengan menggunakan pemantauan media, KontraS memantau peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, termasuk hak atas kebebasan berkumpul yang terjadi selama empat tahun terakhir (2015-2018). KontraS menyadari angka itu merupakan angka yang terdokumentasi. Terbuka peluang untuk kurang atau bahkan secara hipotesis: melebihi yang tercatat (dark number).

Secara khusus, KontraS melakukan pendataan pada sektor kebebasan berkumpul yang mana tidak semua kasus dijadikan objek studi melainkan kasus-kasus yang spesifik dan terdokumentasikan. Secara kewilayahan, studi kasus ini dilengkapi dengan wawancara dan penggalian informasi mendalam di Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua.

Terdapat tren yang menguat untuk membatasi ruang ekspresi termasuk restriksi khusus terhadap hak berkumpul secara damai di muka publik. KontraS menemukan adanya pola-pola yang berulang; (1) pola pembatasan hak berkumpul menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur, (2) pola pembatasan hak berkumpul diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara, (3) ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif mampu memberikan keadilan kepada korban, ketika masyarakat sipil mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas internal dan eksternal terhadap praktik pembubaran paksa dari kebebasan berkumpul di beberapa kasus.

Dari studi kasus dan penggalian informasi yang tertulis dalam laporan ini, KontraS menyimpulkan bahwa pola pembatasan kebebasan berkumpul muncul dari beberapa hal, seperti adanya peraturan perundang-undangan yang membuka tafsir secara luas bagi aparatur keamanan di lapangan untuk dilaksanakan (perilaku) secara serampangan untuk membatasi hak atas kebebasan berkumpul dan kebebasan fundamental lainnya, minimnya pemahaman pemerintah dan aparat kepolisian terkait standar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi maupun konvensi atau perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia, konstruksi negara melalui aparaturnya dalam menanggapi beberapa isu sensitif dijadikan landasan dalam mengambil keputusan dan tindakan yang mengenyampingkan kewajibannya untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia warga negara, bentuk dan metode pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul tidak hanya melalui pembubaran yang dilakukan atas intervensi dari organisasi kemasyarakatan (ORMAS), serta pemerintah daerah tidak menjamin perlindungan serta pemenuhan dan justru memiliki andil atas terjadinya pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul.

laporan utuh dapat diakses di sini