Mengenang 31 Tahun Peristiwa Talangsari: Menyebarkan Suara Korban, Merawat Ingatan Publik

Hari ini, 7 Februari 2020, Korban dan keluarga korban Talangsari yang tergabung dalam Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) bersama dengan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Bandar Lampung, Amnesty Internasional Indonesia dan Aksi Kamisan Lampung mengadakan rangkaian kegiatan selama 2 (dua) hari  untuk mengedukasi publik dan merawat ingatan kolektif publik Lampung terhadap peristiwa Talangsari Lampung yang terjadi pada tahun 1989 di Lampung.

Kasus Talangsari mengacu pada hasil penyelidikan projustitia Komnas HAM yang rampung pada tahun 2008 merupakan sebuah kejadian yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. Namun, semenjak tahun 2008 hingga kini, hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut tidak pernah beranjak ke tahap penyidikan karena adanya ketidakmauan dari Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Macetnya proses yudisial berdampak pada pemenuhan hak korban seputar rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi  yang makin jauh dari panggang api. Korban sebagai subjek utama penyelesaian sebuah pelanggaran HAM berat perlu segera diberikan pemulihan kembali hak-haknya.

Alih-alih, mendorong proses penyelesaian dan pemulihan bagi korban. Negara melalui Kementerian Politik Hukum dan HAM malah mengadakan pertemuan bersama Wakil Bupati, Ketua DPRD Lampung Timur, Forkompimda Lampung Timur, tokoh masyarakat dan warga untuk melaksanakan “Deklarasi Damai” melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Timur No: 170/32/XII/SK/DPRD-LTM/2000 tertanggal 20 Februari 2019. Mirisnya, “Deklarasi Damai” tersebut tidak melibatkan korban sama sekali.

Tidak ada satupun hak korban yang terpenuhi. Bahkan, dalam surat yang dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman Republik Indonesia tersebut, warga dilarang untuk menyebut-nyebut lagi tragedi tersebut seolah peristiwa kelam itu tak pernah terjadi. Tidak hanya merampas hak korban dalam pengungkapan kebenaran dan kesempatan untuk dipulihkan, lewat “Deklarasi Damai” tersebut pemerintah juga menutup pintu rapat-rapat pada pihak yang ingin membantu korban dalam pemenuhan hak korban. Pemerintah yang mengabaikan sepenuhnya prinsip HAM benar-benar telah melucuti wibawanya di depan rakyatnya sendiri. Belum ada jalan terang dalam penyelesaian kasus HAM di Indonesia. Negara yang mendaku sebagai negara hukum ini telah mengabaikan hukum yang dibuatnya sendiri.

Peringatan 31 tahun Tragedi Talangsari Lampung adalah sebuah upaya melawan lupa sebagai nafas utama perjuangan korban dan masyarakat sipil dalam isu penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Publik perlu terus menerus diingatkan bahwa setelah tragedi terjadi, korban masih belum diperhatikan dan diberikan pemulihan. Generasi muda perlu tahu bahwa 31 tahun lalu, pemerintah Orde Baru memakai cara-cara militeristik dalam menyikapi perbedaan. 130 orang terbunuh, 77 orang  dipindahkan secara paksa, 33 dirampas haknya sewenang-wenang, dan 43 orang disiksa berdasarkan catatan Komnas HAM dalam Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat.

Diskusi publik, pameran foto, dan pemaran memorabilia korban ini akan berlangsung selama dua hari dengan tema “Kilas Balik 31 Tahun Tragedi Kemanusiaan Talangsari Lampung” di Doesoen Coffee, Bandar Lampung. Diskusi hari pertama akan berlangsung hari Jumat tanggal 7 Februari 2020 Pukul 13.00 WIB sampai selesai. Diskusi akan diikuti oleh mahasiswa, jaringan media, jaringan NGO dan masyarakat sipil lainnya dan menghadirkan sebagai narasumber yakni Ahmad Su’adi (Anggota ORI), Hermansyah Saleh (Kepala Divisi Ketahanan Sosial dan Kemasyarakatan Kesbangpol Provinsi Lampung), Cik Ali (Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Lampung) dan Feri Kusuma (Deputi Koordinator KontraS). Di hari kedua, diskusi publik akan dilaksanakan pukul 16.00 dengan tema, Merawat Ingatan Anak Muda atas Kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu” yang menghadirkan Sumarsih (Presidium JSKK), Amnesty International Indonesia, dan Aksi Kamisan.

Kegiatan ini diharapkan mampu memperpanjang nafas korban dalam melakukan advokasi kasusnya yang masih stagnan. Dengan mengajak peran serta pemerintah daerah untuk lebih proaktif memperhatikan hak-hak korban dan turut andil dalam proses pemulihannya seperti yang pernah terjadi di Kota Palu. Kegiatan ini juga diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat di Lampung terkait peristiwa Talangsari. Penyebaran informasi ke publik adalah juga sebuah bentuk upaya menghadirkan kebenaran peristiwa melalui suara korban.

Bandar Lampung, 7 Februari 2020

 

Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), LBH Bandar Lampung, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty Internasional Indonesia, Aksi Kamisan Lampung

 

Narahubung

08118889602 – Justitia Avila Veda (Amnesty Internasional Indonesia)

085777629057 – Nita Noviyanti (KontraS)

081273336934 – Bowo (LBH Lampung)