Memberikan Kritik Kepada Presiden dan Pemerintah Bukan Tindakan Kriminal

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik atas tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh institusi Polri terhadap sejumlah warga  dengan tuduhan telah menyebarkan hoax terkait Covid-19 dan tindakan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Adapun tindakan ini dilakukan pasca adanya Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang siber yang ditandatangani pada tanggal 4 April 2020, sebagai respon atas pernyataan Presiden Jokowi mengenai status darurat kesehatan masyarakat di Indonesia dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menangani wabah penyakit Covid-19. Namun alih-alih melakukan pencegahan penyebaran Covid-19, dalam surat telegram tersebut, Kapolri meminta kepada kabareskrim serta Kapolda di masing-masing wilayah untuk melakukan penegakan hukum tindak pidana siber dan pemantauan opini di ruang siber mengenai penyebaran hoax terkait Covid-19 serta penghinaan terhadap penguasa.

Kami melihat bahwa dasar hukum yang dijadikan pertimbangan dalam surat telegram tersebut salah satunya mencantumkan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dan Pasal 45 A Ayat (1) juncto Pasal 28 Ayat (1) UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Perlu menjadi catatan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa Pasal 207 KUHP tidak dapat dikenakan terhadap seseorang apabila sebelumnya tidak ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang merasa dirugikan (delik aduan). Oleh karenanya, aparat kepolisian tidak bisa secara serta merta melakukan penindakan terhadap seseorang yang diduga melakukan pelanggaran atas Pasal tersebut. Apalagi definisi “penghinaan” bersifat sangat subjektif dan cenderung multitafsir.

Selain itu, Polisi sebaiknya tidak lagi menggunakan Pasal 207 KUHP sebab jika merujuk pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006, majelis hakim menyatakan bahwa dalam penuntutan terhadap pelaku Pasal 207 KUHP, aparat memerlukan penyesuaian dengan Pasal 134 KUHP, Pasal 136 KUHP dan Pasal 137 KUHP. Sedangkan kini, ketiga Pasal tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, eksistensi dari Pasal 207 KUHP seharusnya sudah tidak memiliki relevansinya lagi untuk digunakan dalam pemidanaan. Adapun penggunaan UU ITE juga tidak tepat dijadikan sebagai dasar hukum mengingat UU dimaksud memuat sejumlah pasal karet yang dapat berpotensi mengkriminalisasi dan menghalang-halangi kebebasan berekspresi dan berpendapat seseorang.  

KontraS mencatat sudah ada 4 (empat) orang yang dipidanakan secara paksa terkait Pasal penghinaan terhadap penguasa. Berdasarkan wilayahnya, tercatat 2 orang dari DKI Jakarta, 1 orang Kepulauan Riau dan 1 lagi berasal dari Jawa tengah. Bahwa atas tindakan itu, Polisi pada dasarnya telah menghina dan mengabaikan Putusan Mahakamah Konstitusi serta tidak taat dengan konstitusi yang memberikan jaminan kepada setiap orang untuk bebas berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Tak hanya itu, dalam situasi penyebaran Covid-19 yang masif di Indonesia saat ini, tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh institusi Polri bertentangan dengan upaya penerapan social distancing yang tengah giat digalakan oleh Pemerintah. 

Bahwa akibat dari segala tindakan itu, menimbulkan kerugian konstitusional dan kerugian hukum. Masyarakat yang seharusnya dijamin atas kebebasan berekspresi serta pendapatnya oleh negara, justru mengalami kriminalisasi atau pemidanaan yang dipaksakan. Hal ini menunjukan institusi Kepolisian tidak proporsional dan berlebihan dalam menangani wabah penyakit Covid-19 berdasarkan kewenangannya dalam melakukan pengamanan.

Mengenai adanya penyebaran berita bohong atau hoax, yang justru harus dikoreksi adalah pernyataan-pernyataan pemerintah pejabat dan elitnya cenderung meremehkan dan menyiratkan seakan-akan Indonesia kebal terhadap serangan virus atau penyampaian – penyampaian informasi yang tidak berdasar. Sebagai contoh, diantaranya pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa virus Covid-19 itu tidak kuat karena cuaca panas. Pernyataan itu merupakan pernyataan yang tidak berdasar, sebab organisasi kesehatan dunia (WHO) menggolongkan informasi bahwa Corona tidak kuat panas dan lembap sebagai mitos. Jika konsekuen, harusnya Polisi  melakukan penindakan kepada Luhut Binsar Panjaitan atau pejabat pemerintah dan lembaga lainnya yang memberikan atau menyampaikan informasi tidak berdasar terkait Covid-19. 

Kami juga menyayangkan kekhawatiran akan penyebaran hoax tidak disertai dengan upaya untuk membangun komunikasi dan informasi publik yang terpercaya dan komprehensif dari pemerintah. Dalam hal ini, tindakan masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik bukanlah tindak kejahatan melainkan bentuk partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus ekspresi kekecewaan masyarakat atas kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap lamban serta mengecewakan.

Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, maka dengan ini kami mendesak:

  1. Presiden memerintahkan Kapolri untuk tidak melakukan dan menghentikan pemidanaan  (penangkapan, penahanan) terhadap masyarakat yang menyampaikan masukan, kritik dan koreksi terhadap pemerintah dalam penanganan Covid-19
  2. Kapolri memerintahkan Kabareskrim Mabes Polri dan Kapolda di seluruh wilayah untuk segera menghentikan pemidanaan terhadap orang-orang yang dianggap melakukan penghinaan terhadap penguasa, sebab Pasal 207 KUHP sudah tidak relevan lagi untuk digunakan;
  3. Kapolri mengedepankan tindakan persuasif terhadap setiap warga masyarakat dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dalam masa status darurat kesehatan masyarakat dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menangani wabah penyakit Covid-19 di Indonesia.

 

Jakarta, 8 April 2020

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator