Vonis Ringan Aparat Kepolisian yang Melakukan Pembunuhan Terhadap Zaenal Abidin; Melukai Rasa Keadilan dan Melanggengkan Impunitas

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan rendahnya vonis yang diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Selong, Lombok Timur, terhadap 9 (Sembilan) orang anggota kepolisian yang melakukan praktik-praktik penyiksaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain atas naman Alm. Zaenal Abidin, Dalam putusannya Majelis Hakim menjatuhkan vonis 10 (sepuluh) bulan hingga 1 (satu) tahun penjara bagi para pelaku penyiksaan. Rendahnya vonis tersebut, setidaknya menambah deretan panjang rendahnya penjatuhan vonis bagi para pelaku penyiksaan sekaligus melukai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Selain itu, putusan tersebut juga mencerminkan bahwa pengadilan hanya menjadi alat formalitas dan bagian dari institusi yang melanggengkan impunitas terhadap aparat penegak hukum yang melakukan tindakan-tindakan diluar aturan hukum dengan mengatasnamakan penegakan hukum.

 

Berdasarkan fakta persidangan, ke-9 (Sembilan) orang anggota kepolisian tersebut telah melakukan praktik-praktik penyiksaan yang menyebabkan tewasnya Alm. Zaenal Abidin. Dari sembilan orang tersebut, 7 (tujuh) orang merupakan anggota satuan polisi lalu lintas (satlantas) dan 2 (dua) orang lainnya masing-masing dari satuan reserse narkoba serta anggota Polsek KP3 Polres Lombok Timur. Dalam persidangan peristiwa tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa para pelaku tindak pidana dengan Pasal 170 ayat (2) KUHP dan Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Namun demikian pda saat proses persidangan berlangsung, terungkap berbagai kejanggalan, yang menunjukan dugaan adanya upaya merendahkan hukuman penjara terhadap para pelaku dari tuntutan yang seharusnya.

 

Kejanggalan pertama, pada tahap tuntutan, JPU menuntut masing-masing para pelaku dengan tuntutan 1 (satu) tahun hukuman penjara padahal jika merujuk pada dakwaan yang dibuat JPU sendiri ancaman maksimalnya ialah 12 (dua belas) tahun penjara untuk Pasal 170 ayat (2) dan 7 (tujuh) tahun penjara untuk Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Kedua, dengan menuntut secara rata 1 (satu) tahun hukuman penjara, JPU telah menegasikan fakta persidangan yang menunjukan adanya peranan dari masing-masing pelaku. Ketiga, saat orang tua korban memberikan keterangan di muka persidangan, mereka tidak disediakan penerjemah resmi. Keempat, majelis hakim seharusnya dapat memberikan vonis hukuman penjara dengan acaman pidana maksimal dengan pertimbangan para pelaku ialah aparat kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat namun faktanya hal itu tidak terjadi.

 

Apabila dibandingkan dengan kasus serupa yang pelakunya bukan dari institusi Polri, tuntutan dan putusan pengadilan yang dijatuhkan tampak cukup berat. Satu kasus diantaranya yaitu kasus penganiayaan yang mengakibatkan hilagnya nyawa supporter persija, Haringga Sirla, para pelaku dituntut 9 (Sembilan) hinga 11,5 (sebelas setengah) tahun dan divonis beberapa diantaranya 9,5 (Sembilan setengah) tahun penjara. 

 

Bahwa fakta-fakta di atas menunjukan, proses peradilan pidana yang dijalankan dalam melakukan pemeriksaan dan penghukuman terhadap para pelaku hanya sebatas prosedrural semata dimana hanya untuk menunjukkan bahwa Negara sudah mematuhi hukum tanpa disertai adanya kesungguhan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku penyiksaan, yang notabene adalah aparat penegak hukum. Baik JPU maupun majelis hakim telah abai menejalankan tugasnya dalam memberikan hak atas keadilan bagi keluarga korban. Kasus ini memperpanjang catatan hitam bagi peradilan pidana Indonesia yang memberikan ruang keringanan bagi aparat kepolisian dalam melakukan tindak kejahatan.

 

Minimnya penghukuman yang berat terhadap para pelaku penyiksaan, jelas berdampak pada masih tingginya angka penyiksaan di Indonesia dari tahun ke tahun. Dalam laporan penyiksaan yang didokumentasikan KontraS sepanjang tahun Juni 2018-Mei 2019, setidaknya terdapat 57 (lima puluh tujuh) peristiwa penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri. 

 

Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dengan ini kami mendesak:

 

  1. Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia melakukan pemeriksaan secara disiplin dan etik terhadap para Jaksa Penuntut Umum terkait adanya kejanggalan dan memberikan tutntutan ringan terhadap para pelaku tindak kejahatan;

  2. Kejaksaan Agung Republik Indonesia memerintahkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat untuk melakukan evaluasi secara segera dan tegas terhadap para Jaksa Penuntut Umum yang bertugas dalam kasus tersebut serta memerintahkan untuk melakukan upaya hukum berupa banding perihal vonis ringan yang diberikan majelis hakim;

  3. Ketua Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut oleh karena tidak mempertimbangkan secara baik fakta-fakta persidangan dan tidak benar-benar menggali rasa keadilan yang ada di masyarakat.

  4. Sudah saatnya Negara meratifikasi Protokol Tambahan dari Konvensi Internasional untuk Hak Sipil dan Politik dan memasukkan elemen penyiksaan dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai bentuk tindak lanjut dari rekomendasi UPR, khususnya terkait dengan pencegahan praktk-praktik penyiksaan yang masih terjadi di Indonesia.

Jakarta, 21 April 2020

Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani

Koordinator

Narahubung: Andi Muhammad Rezaldy (087785553228)