Surat Terbuka Desakan Proses Hukum Terhadap Oknum Anggota Polsek Percut Sei Tuan yang Melakukan Dugaan Praktik Penyiksaan Terhadap Sarpan

No       : 123/SK-KontraS/VII/2020
Hal      : Surat Terbuka Desakan Proses Hukum Terhadap Oknum Anggota Polsek Percut Sei Tuan yang Melakukan Dugaan Praktik Penyiksaan Terhadap Sarpan

Kepada Yang Terhormat,
Irjen. Pol. Drs. Martuani Sormin Siregar, M.Si.
Kapolda Sumatera Utara

Di-Tempat
Dengan Hormat,

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mendesak dilakukannya proses hukum terhadap oknum anggota Polsek Percut Sei Tuan, yang diduga melakukan praktik penyiksaan terhadap seorang warga sipil a.n Sdr. Sarpan (yang selanjutnya disebut sebagai korban) yang juga merupakan saksi dalam peristiwa yang disangkakan tersebut.

Berdasarkan informasi awal yang kami terima, bahwa korban ditangkap dan ditahan oleh petugas Polsek Percut Sei Tuan terkait dengan tuduhan tindak pidana pembunuhan terhadap Alm. DS sejak tanggal 02 Juli – 05 Juli 2020. Diduga selama proses penyidikan dan penahanan tersebut, korban mengalami praktik-praktik penyiksaan berupa pemukulan dan intimidasi agar korban mengakui tindak pidana yang disangkakan tersebut, yang mana akibat dari dugaan praktik penyiksaan tersebut, korban mengalami luka-luka pada bagian wajah dan sekujur tubuhnya.

Bahwa disaat yang bersamaan dengan penangkapan terhadap korban oleh Polsek Percut Sei Tuan, pihak kepolisian juga telah melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga merupakan pelaku pembunuhan terhadap Alm. DS. Korban baru dibebaskan oleh Polsek Percut Sei Tuan setelah sejumlah warga mendatangi Polsek Percut Sei Tuan atas informasi istri korban yang melihat kondisi korban yang mengalami luka-luka. Selain itu korban juga telah melakukan pelaporan terkait dengan peristiwa tersebut.

Dugaan praktik-praktik penyiksaan yang dialami korban menambah deretan jumlah korban penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Berdasarkan pemantauan yang kami lakukan untuk periode Juli 2019-Juni 2020, kami menemukan setidaknya terdapat 48 (empat puluh delapan) kasus praktik-praktik penyiksaan yang terjadi di lingkungan institusi Polri dengan mayoritas terjadi di ranah Polres sebanyak 29 (dua puluh sembilan) kasus, disusul Polsek 11 (sebelas) kasus, dan Polda 8 (delapan) kasus. Dengan mayoritas instrumen praktik penyiksaan menggunakan tangan kosong.

Bahwa sebagaimana hal di atas, penting bagi setiap anggota Polri sebagai aparat penegak hukum untuk mengetahui bahwa :

  1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33 ayat [1] menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”;
  2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 7 menyatakan “Bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat
  3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 12 menyatakan “Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi – instansi yang berwenang melakukan suatu penyidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di wilayah hukumnya”.
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 351 ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut: “(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
  5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Pasal 10 huruf e dan Pasal 11 ayat (1) huruf b yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 10 huruf e
Tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan.”

Pasal 11 ayat (1) huruf b
Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.

Oleh karena itu, guna memastikan proses hukum ini berjalan secara transparan dan akuntabel, serta untuk memastikan tidak adanya bentuk intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh anggota di lapangan baik terhadap korban maupun keluarga korban serta tidak berulangnya peristiwa serupa, kami mendesak:

Pertama, Polda Sumatra Utara untuk memberikan atensi terkait dengan kasus atau peristiwa ini dan melakukan penyidikan secara objektif dan menyeluruh sehingga tidak hanya terhadap para pelaku-pelaku lapangannya saja dalam persitiwa tersebut, dan memastikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan dapat diproses secara transparan dan akuntabel serta tidak hanya dilakukan proses pemeriksaan internal secara internal.

Kedua, Kami juga mengingatkan bahwa tindakan penyiksaan tersebut merupakan tindakan yang melanggar hukum, dan sudah sepatutnya tindakan tersebut diproses secara hukum, mengingat bahwa Indonesia adalah Negara Hukum dan dijamin dalam Konstitusi Negara. Hal ini penting dilakukan guna memberikan efek jera terhadap para pelaku dan memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban.

Jakarta, 14 Juli 2020
Badan Pekerja KontraS

R Arif Nur Fikri, S.H.
Wakil koordinator 2 Bidang Advokasi